Narasi

Berantas Hoaks Sejak dalam Pikiran

Internet sebagai satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat kini, telah memiliki andil besar dalam mempengaruhi pembentukan karakter-mental masyarakat. Kegaduhan yang ada di internet, dengan begitu juga menjadi kegaduhan di dunia nyata. Maka dari itu, jika dunia maya telah tercemari informasi bohong dan tidak ada upaya untuk memberantasnya, dapat dipastikan kehidupan masyarakat juga akan sakit.

Tidak semua berita bohong dapat dikatakan hoax, inilah yang mesti kita pahami. Berita bohong baru bisa dikatakan hoax apabila diproduksi secara sengaja agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Di samping itu, kebohongan disebut hoax apabila keberadaannya memiliki motif tertentu, seperti misalnya memengaruhi opini publik. (kumparan.com)

Warganet memang dituntut untuk waspada dengan berita hoax. Pasalnya, ada misi terselubung yang menempel dalam pemberitaan atau informasi hoax, dan jika seseorang memercayai begitu saja, maka hoax itu akan dianggap sebagai kebenaran. Karena dianggap kebenaran, itu boleh jadi dijadikan semacam nilai yang dipegang dalam hidup, sehingga ketika ada informasi lain dengan versi yang berbeda, sulit untuk diterima. Di samping untuk memengaruhi opini publik, berita hoax juga ternyata diproduksi untuk kepentingan ekonomi. Hal ini pernah disinggung Yosep Stanly, Ketua Dewan Pres, bahwa bisnis dari media-media hoax sangatlah menggirukan, yakni mencapai Rp 30 juta per bulan. Barangkali keuntungan ini yang menjadikan media abal-abal berlomba-lomba untuk produksi hoax.

Kata hoax sendiri baru digunakan sekiar tahun 1808. Kata tersebut berasal dari hocus yang berarti mengelabuhi. Hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi punch line dalam pertunjukan mereka di panggung (kumparan.com)

Adil sejak dalam pikiran

Karena hoax adalah sesuatu yang disengaja, tentu muncul dari pikiran seseorang. Benar yang dikatakan Pram, bahwa sebagai manusia beradab, kita mesti sudah mampu adil sejak dalam pikiran, sehingga bisa mengejawantah dalam perbuatan. Begitu juga sikap dan laku yang mesti kita budayakan di era digital ini. Bahwa kebohongan adalah penghianatan atas keadaban manusia, sehingga pelakunya patut dikutuk. Ini karena, kebohongan yang disengaja dapat bertransformasi menjadi kebenaran manakala dipercaya banyak orang. Dan, kebenaran (yang manipulatif) itu akan bergulir mewarnai fenomena sejarah.

Maka dari itu, memberantas hoax sebenarnya adalah upaya untuk membersihkan pikiran dari misi-misi busuk keserakahan manusia. Bahwa ambisi untuk menguasai opini publik, mencari keuntungan materi maupun non-materi, adalah suatu yang wajar dan sangat manusiawi. Akan tetapi, jika cara untuk meraih hal yang manusiawi itu dilakukan dengan jalan kebohongan atau manipulasi, tentu tidak bisa dibenarkan –kecuali untuk para machiavellis.

Ibnu Kaldun (kumparan.com) menjelaskan bahwa kehobongan (hoax) adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam perkembangan zaman. Ia secara alami memengaruhi derajat kebenaran sebuah kebenaran informasi. Menurutnya, ini terjadi karena tujuh hal.

Pertama, keberpihakan seseorang terhadap sebuah opini atau bisa juga mazhab. Keberpihakan ini membuat seseorang tidak bisa bersikap netral. Kedua, derajat keandalan penyampai informasi. Bahwa mereka yang telanjur dipandang sebagai sosok yang dikagumi, kerap dipercaya begitu saja tanpa ada upaya kritik personal.

Ketiga¸ ketidaktahuan soal latar belakang masalah. Si penyebar informasi tidak memiliki cukup kemampuan untuk menangkap makna di balik peristiwa, sehingga dalam produksi wacana cenderung ke arah ketidaktepatan. Keempat¸ asumsi bahwa yang didapat pastilah benar. Ini meniadakan sikap kritis dalam diri sendiri, hanya karena ‘apa yang didapat’ sudah teruji kebenarannya, sehingga tidak perlu dikritisi lagi –melepaskan sikap kehati-hatian.

Kelima, ketidakpedulian kita terhadap kesesuaian suatu kejadian dengan distorsi realitas. Keenam¸ pandangan yang sudah tidak murni lagi terhadap orang-orang yang berstatus. Hal ini yang lalu menjadikan pujian-pujian terhadap orang tersebut berlebihan, sehingga apa yang melekat dalam dirinya selalu dianggap baik dan benar. Adapun yang ketujuh, dan inilah poin terpenting, adalah ketidakjelian kita bahwa hal-hal terjadi dalam latar belakang dan kondisi peradaban yang berbeda, yang menjadikan suatu hal unik dibanding kejadian sebelumnya, semirip apapun.

Tujuh faktor yang dirumuskan Ibnu Kaldun dalam Muqaddimah ini tentu bisa kita jadikan pedoman untuk menyisir dunia maya, dan memilah informasi yang tervalid. Adil sejak dalam pikiran, diejawantahkan dengan melihat sesuatu secara ‘obyektif’, dalam arti, melepaskan atribut-atribut dalam diri dan juga penyampai informasi –dan menepis sejauh mungkin bias-bias yang muncul dalam diri.

Latifatul Umamah

Recent Posts

Sudahkah Kita Kritis Memilihkan Sekolah Keagamaan untuk Anak?

Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham…

6 jam ago

Strategi Jangka Panjang Melindungi Generasi Emas dari Virus Intoleransi

Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya…

6 jam ago

Menyoal Dikotomi Sekolah Islam dan Sekuler; Bagaimana Mendefinsikan Kesalehan Anak dalam Bingkai NKRI?

Dalam tradisi setiap masyarakat di Indonesia, semua bayi yang baru saja lahir pasti didoakan dengan…

6 jam ago

Menghidupkan Kembali Dakwah Nusantara yang Akulturatif dan Akomodatif di Tengah Gempuran Dakwah Transnasional

Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…

3 hari ago

Dakwah Bil Hikmah : Anjuran Al-Quran untuk Beradaptasi dengan Kearifan Lokal

Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…

3 hari ago

Dakwah Puritan; Syiar Islam yang Tidak Relevan dengan Konteks Keindonesiaan

Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…

3 hari ago