Narasi

Al-Qur’an; Pedoman untuk Menangkal Hoax

Beberapa waktu lalu, jagad maya sempat gaduh lantaran ungkapan Ketua Siber dan Sandi Negara (BSSN) Mayjen TNI Purn Djoko Setiadi, yang mengatakan bahwa hoax tidak selamanya negatif, melainkan juga positif. Hoax yang positif ini oleh Djoko diistilahkan sebagai hoax yang membangun.

Tak selang lama ungkapan itu dilontarkan, warganet langsung merespon dengan cepat. Banyak di antara mereka yang mempertanyakan maksud dari ungkapan tersebut. Sebagian malah mencibir, dan menjadikannya olok-olok. Tagar #hoaxmembangun pun dicuitkan lebih dari 42.000 kali dan tidak hanya mengundang tanggapan warganet, tetapi juga politisi.

Nampaknya, yang dimaksud ‘hoax membangun’ oleh ketua BSSN adalah kritik yang membangun. Namun, pemilihan kata yang digunakan tidak sesuai, bahkan cacat logika. Seorang politisi bahkan menganalogikan istilah tersebut seperti susunan kata dalam “es panas”. Sekalipun pada akhirnya yang bersangkutan mengklarifikasi bahwa ungkapan tersebut hanyalah pancingan, tapi setidaknya bisa dijadikan pelajaran, bahwa ucapan apapun yang keluar dari pejabat negara, warganet menyimak. Sehingga, kecerobohan sedikit saja bisa menjadi persoalan besar di jagat maya yang tak terbatas.

Contoh paling konkrit mengenai fenomena hoax baru-baru ini adalah kelakuan Ratna Sarumpaet. Ia menginformasikan kepada khalayak bahwa dirinya dikeroyok orang tak dikenal, hingga membuat wajahnya lebam. Untuk meyakinkan warganet, ia tak segan mengunggah foto wajah lebamnya.

Sekalipun Ratna dikenal sebagai aktivis yang ceplas-ceplos, tapi wajah lebamnya ternyata mampu mendulang rasa simpati warganet. Sebagian warganet merasa kasihan kepadanya dan mengutuk keras kepada pelaku pengeroyokan. Akan tetapi, warganet dibuat kecewa ketika tahu bahwa fakta yang disampaiakn Sarumpaet adalah palsu, dan wajah lebamnya tak lain adalah efek dari operasi plastik.

Bisa dikatakan, hoax bikinan Sarumpaet menjadi hoax paling parah dalam sejarah Indonesia. Pasalnya, tidak hanya warganet saja yang tertipu, tapi juga politisi dan bangsa Indonesia secara umum. Julukan “Ibu Hoax Indonesia” pun tersemat dalam diri Sarumpaet, sebagai ‘penghargaan’ dari ‘prestasinya’ telah berhasil membohongi publik.

Menangani hoax memang tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Ranah kerja pemerintah hanya pada pembuatan kebijakan, misalnya rencana kominfo yang akan mendenda platform media sosial yang tidak mau menghapus konten hoax dalam waktu 24 jam –sekalipun belum dibikin kebijakannya. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan semacam sosialisasi pada masyarakat, baik dalam bentuk formal maupun non formal –misalnya menggunakan momentum car free day sebagai ajang sosialisasi anti-hoax.

Upaya pemerintah dalam memberantas hoax juga mesti diiringi dengan kesadaran masyarakat tentang bahayanya berita bohong. Tanpa kesadaraan ini, tentu sulit untuk membersihkan dunia maya dari tebaran hoax. Bahkan sebaliknya, jika warganet abai, maka hoax akan tumbuh subur dan sulit dikendalikan.

Kunci memberantas hoax sebenarnya ada dalam diri masing-masing orang atau warganet. Satu hal yang mesti diperhatikan adalah, jangan langsung percaya dengan sebuah informasi atau berita, sebelum kita benar-benar meneliti dengan saksama. Bagi muslim, upaya agar terhindar dari hoax dan fitnah, baik sebagai pelaku maupun korban, agaknya bisa membuka lembaran kitab suci.

Paling tidak, ada tiga ayat yang perlu diperhatikan seorang muslim, untuk merumuskan formula penangkal hoax yang manjur. Pertama, surat al-Hujurat ayat 6, yang menyuratkan pesan bahwa ketika datang orang fasik (yang memiliki kecenderungan merusak atau membuat gaduh) dan membawa berita atau informasi, maka hendaknya diteliti dulu kebenarannya –jika tidak mau menyesal. Sekalipun datang dari orang fasik, berdasar ayat tersebut, kita tidak boleh serta merta menolaknya, melainkan menerima dengan terlebih dulu diteliti validitasnya.

Kedua, surat an-Nuur ayat 15, yang memperingatkan kepada kita bahwa berita dari mulut ke mulut –yang kerap dianggap hal sepele- memiliki timbangan besar di hadapan Allah. Tentu, hanya orang-orang beriman yang memercayai kebenaran ayat ini. Dan, jika sadar akan bahayanya informasi dari mulut ke mulut (kabar burung), mestinya kita selalu waspada dan menerapkan tabayyun –meneliti dulu sebelum menerima-, agar tidak termakan hoax.

Ketiga, al-Isra ayat 36, yang menegaskan bahwa tidak dibolehkan seseorang mengikuti sesuatu yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Hal ini bisa dimaknai larangan bagi kita, supaya tidak serta merta sharing informasi tanpa tahu kebenaran informasi tersebut. Atau bisa juga dimaknai, agar tidak sharing sebuah berita hanya karena membaca judulnya saja –tanpa tuntas membaca isi.

Imron Mustofa

Admin Online Blog Garawiksa Institute. PU LPM Paradigma Periode 2015/2016

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago