Narasi

Berbeda Pilihan Politik, Tetap Bersaudara

Hajatan politik lima tahunan Pemilu serentak mencapai puncaknya pada 17 April 2019. Dalam momentum ini, kita akan bersama-sama menentukan siapa yang layak menduduki kursi presiden, wakil presiden, dan orang-orang yang duduk di parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah. Tentu saja, kita berharap Pemilu bukan hanya berlangsung secara lancar tanpa ada huru-hara dan konflik, tetapi juga tetap bersaudara dalam khazanah kebhinnekaan dalam menentukan pilihan politik.

Rawan Konflik

Bahwasanya tahun 2019 merupakan tahun politik bagi Indonesia menjadikan kita harus waspada terhadap potensi. Mengenai ini, kita bisa ber­kaca pada beranda media sosial yang riuh dan penuh sesak dengan postingan mengenai paslon (pasangan calon) presiden dan wakil presiden yang bahkan saling serang dan saling menjelekkan satu sama lain. Tak hanya itu, saling berbalas hoaks antara pendukung satu dengan pendukung lainnya di media sosial juga dilakukan dengan harapan dapat memengaruhi suara dari swing voters pengguna media sosial.

Hanya saja, diakui atau tidak, konflik-konflik dan gesekan-gesekan yang menyebar di media sosial tersebut tentu akan merusak persaudaraan sesama warga negara. Memang, Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tu­juan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Namun demikian, jika masing-masing pihak mau me­nang sendiri, maka proses berlanjut ketahap polarisasi. Per­kem­bangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus ko­mu­nikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap des­truktif.

Baca juga : Pemilu 2019: Berpartisipasi Dan Bersaudara Walau Berbeda

Perihal berbeda pilihan politik seringkali menjadi alasan untuk saling memutus persaudaraan. Penyebabnya, berlebihan dalam menanggapi persoalan perbedaan pilihan politik yang dijatuhkan oleh diri sendiri dan orang lain hingga saling membenci satu sama lain. Bermula dari kebencian, seseorang bisa berani melakukan tindakan yang mengancam kedamaian dan keutuhan masyarakat. Tak heran, Jorge Luis Borges, pengarang terkemuka Argentina, menulis dalam “A Pedagogy of Hatred” bahwa “unjuk kebencian itu lebih tak senonoh ketimbang perilaku eksibisionisme” dan menandaskan bahwa “mengajarkan kebencian adalah kejahatan”.

Tujuan Bersama

Pemilu seharusnya menjadi agenda demokrasi untuk meleburkan tujuan bersama dalam satu upaya membangun masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan kolektif dan kesejahteraan yang memanusiakan. Oleh karenanya, pemaknaan Pemilu sebagai alat perekat persaudaraan sudah sepantasnya melekat pada pemikiran masyarakat Indonesia, karena kita berangkat dari tujuan yang sama. Sehingga, semua dapat mengkulturasi perilaku–perilaku yang demokratis, perilaku–perilaku perekat kebangsaan, serta perilaku yang toleran. Pemilu merupakan jembatan yang akan kita lalui bersama untuk kesejahteraan bersama.

Maka, jangan mengotori makna suci Pemilu tersebut dengan sentimen berlebihan dan kebencian atas satu pilihan politik sehingga memicu konflik sosial yang mengancam persatuan. Pemilu merupakan amanah suci demokrasi yang mengharapkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang tetap satu, tidak terpecah-belah. Itulah semangat para Founding Fathers bersama-sama merajut narasi besar membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Penuh Cinta

Berangkat dari narasi di atas, menjadikan Pemilu menjadi momentum penuh cinta adalah keniscayaan. Agar, tidak memberi ruang untuk saling membenci, berkonflik, dan memutus persaudaraan. Mahatma Gandhi pernah menceritakan, “Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”.

Ini menunjukkan betapa cinta dapat menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) danpersaudaraan lingkup kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) oleh karena adanya cinta yang bersemi dalam diri manusia. Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya.

Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya). Seseorang atau sekelompok orang yang mengasah pikiran dan gerakannya (aktivitasnya) atas dasar cinta, maka dunia tak akan rentan bersimbah darah. Mereka akan menjadi penyemai kedamaian dan kebahagiaan (Marwiyah, 2013).

Melalui semangat Pemilu yang penuh cinta inilah, satu-satunya jalan agar kita tetap bersaudara meskipun berbeda pilihan politik. Berbeda pilihan itu hal biasa, yang tidak biasa dan keterlaluan ialah memutus persaudaraan karena berbeda pilihan politik. Karenanya, marilah kita ciptakan Pemilu yang damai, kawal Pemilu secara baik-baik agar menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirnya, ingat bahwa dalam kompetisi demokrasi langsung selalu akan muncul pemenang dengan suara terbanyak. Sebab itu, saling klaim kemenangan jangan sampai dimunculkan, karena memicu satu sama lain saling bergesekan. Kemenangan dan kekalahan merupakan bagian dari dinamika demokrasi harus diterima dan dijalani dengan ikhlas dan legowo. Maka itu, jangan berlebih-lebihan dalam menyikapi kompetisi demokrasi. Jika Pemilu selesai, saatnya kita kembali rekonsiliasi. Merajut kembali persaudaraan yang sempat renggang dikoyak oleh fanatisme berlebihan terhadap salah satu politisi serta permainan isu dalam kontestasi Pemilu serentak 2019. Wallahu a’lam.

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

View Comments

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

1 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago