Narasi

Berbeda, Why Not?

Tidak dapat dipungkiri. Kita terlahir di dunia ini telah ditakdirkan untuk berbeda dengan yang lain. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang memiliki kesamaan yang utuh meski mereka terlahir kembar. Pasti ada karakter yang unik dan khas yang membedakan satu orang dengan yang lainnya. Secara fisik misalkan, sidik jari setiap orang tidak ada yang mirip satupun, semuanya berbeda, bahkan yang kembar sekalipun. Sementara jika secara luas kita melihat, setiap orang secara individu memiliki karakter dan kecenderungan yang berbeda-beda satu dengan yang lain.

Kenyatan ini harus diterima sebagai suatu anugerah. Karena dengan perbedaan itulah kita bisa membedakan yang ini dengan yang itu, dari sana kita bisa mengenali yang bermacam-macam itu. Ada yang terlahir dengan kulit berwarna gelap, ada yang putih kemerahan, ada yang sawo matang, ada yang kuning langsat, ada yang tinggi, pendek dan lain sebagainya. Semua itu adalah kenyataan yang harus dihadapi dan dihargai.

Sebuah kebun bunga tak akan menarik jika hanya ada satu model bunga di dalamnya namun, akan menjadi indah dan menarik jika ada beragam bunga yang menghiasinya.

Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa segala perbedaan yang diciptakan oleh Allah Swt bertujuan untuk kebahagian dan kehidupan manusia, dengan begitu manusia bisa mengenal dan berinteraksi satu dengan yang lain. Dengan interaksi yang terjadi akan ada kesinambungan yang saling memberikan manfaat.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat: 13)

Sekali lagi, merujuk pada ayat di atas dapat kita pahami bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindarkan. Kenyataan itu menuntut kita untuk mengenal satu dengan yang lain. Apa tujuan dari mengenal, tentu agar terjadi interaksi dan komunikasi di antara kita. Karena setiap orang berbeda satu dengan yang lain, atau antara kita dengan orang lain baik dari bentuk fisik serta karakter berbeda maka, perlu saling memahami agar satu dengan yang lain tidak saling memaksakan kehendak masing-masing yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan.

Sebagai manusia yang hidup di dunia ini, perbedaan adalah konsekuensi yang harus dihadapi dan diakui keberadaannya. Perbedaan tidak akan menjadi masalah jika setiap orang menyadari bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan, namun akan menjadi masalah besar jika seseorang menganggap bahwa setiap manusia haruslah seragam. Sungguh, bahwa dari keberagaman tersebut Pencipta inginkan kita untuk memahami satu dengan yang lain di luar diri kita, agar kita dapat bersikap menghargai satu dengan yang lain di luar diri kita (komunitas, kelompok, dll yang menjadi bagian dari kehidupan kita di dunia ini).

Di tengah-tengah hidup yang beragam ini, sikap saling menghargai diperlukan agar tercipta suatu kondisi yang harmonis dalam hidup kita. Saling menghargai bisa juga kita artikan sebagai toleransi atau tenggang rasa. Saling menghargai berarti kita memberikan kepercayaan dan penghormatan bagi seseorang untuk melakukan apa yang mereka ingin lakukan selama yang dilakukan tidak mengganggu dan merugikan orang lain atau melanggar aturan-aturan yang disepakati.  Saling menghargai penting di dalam diri kita agar kita tidak menjadi orang yang arogan dan egois yang ingin semuanya seragam.

Deni Gunawan S. Ag

Koordinator Bidang Kaderisasi dan Intelektual Pengurus Cabang PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Jakarta Selatan

Recent Posts

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

21 jam ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

21 jam ago

“Ittiba’ Disconnect”; Kerancuan HTI Memahami Kebangkitan Islam

Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…

1 hari ago

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…

2 hari ago

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

2 hari ago

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…

2 hari ago