Narasi

Bersatu Kita Teguh, Berhoaks Kita Gaduh

Persatuan Indonesia. Begitu salah satu komitmen dan cita-cita luhur bangsa yang terpatri dalam dasar negara Pancasila. Persatuan menjadi kunci perjuangan kemerdekaan bangsa. Tantangannya kala itu senjata dan adu domba. Pascakemerdekaan, persatuan masih menjadi kunci membangun bangsa menuju kemajuan. Tantanganya pun tidak semakin pudar justru semakin menguat. Masih sama yaitu terkait adu domba.

Soekarno pernah berujar “Perjuanganku ringan karena hanya melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih berat karena melawan bangsamu sendiri”. Era revolusi industri 4.0 menjadikan modus operansi adu domba semakin kompleks dan halus. Modus terkuat dan paling sering terjadi adalah dengan operasi penyebaran konten hoaks. Penyebaran hoaks jarang yang terjadi secara alamiah, namun direkayasa sedemikian rupa dengan target politik yang terukur. Operasi hoaks mesti dilawan secara cerdas dan bijak melalui literasi dan implementasi.

Konsepsi dan Regulasi

Hoaks atau berita palsu paling dominan tersebar melalui media sosial. Van der Linden (2018) memaparkan ada lima indikator yang  biasa terdapat dalam berita ‘palsu. Pertama, terdengar konyol untuk menjadi kenyataan.  Judul berita kerap dirancang khusus agar kita mengkliknya. Jadi, kita tidak boleh terjebak clickbait. Kedua, Berhati-hati dengan konten berita politik. Berita palsu memang dibingkai untuk mewakili kepentingan kelompok tertentu. Banyak riset menunjukkan bahwa manusia lebih memperhatikan dan memproses informasi yang sepaham dengan pemikirannya.

Ketiga,  berita hoakslebih cepat viral daripada fakta. Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal yang penting. Konten viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal yang tidak akurat. Keempat, verifikasi sumber dan konteks. Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena kita terus-menerus dihujani informasi tersebut. Kelima, jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial Media sosial bukan situs berita yang terjamin kebenarannya. Media sosial memungkinkan semua orang menyampaikan informasi yang terlihat seperti hal nyata.

Baca juga : Membangun Interaksi di Sosial Media Menangkal Hoax Sampai Akarnya

Konten hoaks dan penyebarannya tidak dibenarkan dalam agama. Fenomena hoaks banyak direkam dalam Al-Quran. Misalnya pada kisah Nabi Adam dan Hawa yang teperdaya oleh berita hoaks yang disampaikan iblis tentang ‘pohon keabadian’ hingga mengakibatkan terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga. Selanjutnya pada kisah Fir’aun, sang penguasa yang membuat berita hoaks dan membentuk opini publik tentang Nabi Musa yang katanya ingin mengkudeta sang penguasa dan mengusir rakyatnya. Dan masih banyak rekaman sejarah lainnya. Menkopolhukkam Wiranto beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa penyebar hoaks bisa masuk sebagai peneror masyarakat dan dapat dijerat Undang-Undang Terorisme. Pernyataan ini bisa dipandang sangat tepat dan rasional, tetapi di sisi lain bisa juga dinilai berlebihan (Sihombing, 2019). Menurutnya, masih perlu dilakukan analisis kuantitatif untuk melihat dampak. Selain itu, perlu pula analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika dan framing untuk mengungkap makna paripurna dari sebuah atau rangkaian pesan hoaks.Selama ini, orang yang menebarkan informasi palsu atau hoaks di dunia maya akan dikenakan hukum positif. Antara lain dikenakan KUHP, Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Kementerian Kominfo (2017) menyatakan  bahwa, bicara hoax itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar.

Mitigasi Hoaks

Konten hoaks adalah musuh bersama di dunia maya. Semua pihak pernah dan berpotensi dirugikan. Bahkan kenyamanan dan persatuan bangsa juga terancam akibatnya. Upaya bersama perlu dilakukan dalam memitigasi total fenomena hoaks ini.

Pertama, mengenali ciri-ciri konten hoaks sebagaimana dipaparkan di atas. Ciri-ciri lain akan berkembang seiring dengan perkembangan variasi konten hoaks itu sendiri.

Kedua, membudayakan saring sebelum sharing. Jempol mesti dilatih mengendalikan fenomena copy paste dan forward suatu informasi. Perlu dibaca dahulu meskipun sekilas. Jika ada yang janggal atau terdeteksi potensi hoaks, maka sebaiknya klarifikasi atau minimal terhenti info tersebut di diri sendiri.

Ketiga, terbiasa mempercayakan informasi pada sumber yang jelas. Kejelasan bukan masalah besar atau tidaknya institusi, melainkan jaminan kepercayaan atasnya. Penelusuran singkat dapat dilakukan dengan metode sederhana misalnya searching by google.

Keempat, menyebarluaskan pemahaman dan upaya penangkalan hoaks di atas menjadi gerakan. Tidak cukup dimengerti diri sendiri, namun harus diteruskan ke sekitarnya. Gerakan perlawanan dan penanganan mesti massif minimal semasif penyebaran konten hoaks itu sendiri.

Kelima, lawan konten negatif hoaks dengan konten positif. Alih-alih membenci dan melawan hokas jangan sampai justru terjebak membuat konten hoaks tanpa disadari. Budayakan membuat kronologi informasi dengan mencantumkan sumbernya meskipun sumbernya dari mata kepala sendiri.

Bersatu dalam produksi dan penyebaran konten postif dan benar akan membuat bangsa ini teguh dan solid. Sebaliknya, fenomena hoaks yang dibiarkan bahkan cenderung dipupuk subur akan menjadi bom waktu yang membuat kegaduhan dan kericuhan. Implikasinya tidak main-main, seperti konflik, disintegrasi bangsa, dan sejenisnya.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago