Narasi

Bukan Jihad tapi Bughat

Salah satu penyebab terjadinya kerusuhan, bahkan korban harta dan nyawa, di negara Indonesia adalah visi “jihad” dalam rangka memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah. Mereka berpendapat bahwa tegaknya khilafah adalah janji Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga harus diperjuangkan. Konsekuensinya, mereka selalu berambisi agar negara Indonesia yang mayoritas muslim bisa menjadi negara Islam (Daulah Islamiyah).

Meski dalam mengupayakan tegaknya Daulah Islamiyah sering kali harus berhadapan dengan pemerintah, kaum radikalis juga mengenal istilah bughat (pemberontakan). Bahkan, mereka (yang gemar melakukan kekerasan) mengemukakan bahwa pelaku bughat perlu diperangi agar kembali kepada ketaatan. Dalam hal ini, perang yang dilakukan adalah dalam rangka memberi pelajaran (qital at-ta’dib), bukan dalam rangka memusnahkan. Hanya saja, meski mereka mengenal istilah bughat, terdapat satu perbedaan pemahaman mendasar yang membuat mereka selalu menjadi ancaman keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kaum radikalis memaknai kata “imam”, sebagaimana perkataan Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri’ al-Jina’iy, “(yang dimaksud) Imam adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-Islamiyah al-a’la)….” Dasarnya adalah bawah ayat tentang bughat (baca QS. Al-Hujurat: 9) merupakan ayat Madaniyah. Dengan kata lain, ayat ini turun dalam konteks sistem Daulah Islamiyah, bukan sistem yang lain. Selain itu, hadits yang membahas bughat juga berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah. Akhirnya, mereka menarik kesimpulan bahwa pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, termasuk presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat.

Kaum radikalis tidak memahami bahwa dilihat dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. KH Muhyidin Abdusshomad (Penulis buku Fikih Tradisionalis) menuliskan bahwa dasar pemerintahan Indonesia merupakan pemerintahan yang sah adalah Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib untuk menduduki jabatan Khalifah.

Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah memenuhi tujuan syari di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jamaah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya. Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa (nu.or.id).

Sebagai umat Islam Indonesia, kita mesti menyimak perkataan Prof. DR. KH. Ali Mustofa Ya’kub. Pengasuh Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah (Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences) yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Ia pernah mengatakan bahwa Indonesia sudah memenuhi persyaratan sebagai negara Islam. Negara Islam itu setidaknya harus memiliki empat aspek; aspek ubudiyah, mu’amalah, munakahah, dan jinayah. Keempatnya menjadi indikator bagi negara Islam. Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai negara Islam karena Indonesia sudah didukung oleh aspek-aspek tersebut. Masyarakat Indonesia sudah mengisi aspek ubudiyah, muamalah, dan munakahah. Secara ketat, mereka mematuhi batasan-batasan dalam tiap aspeknya. Aspek jinayah saja yang tidak berlaku di Indonesia.

Bermula dari sini, tidak berlebihan ketika para tokoh agama, semisal KH Salahuddin Wahid dan Prof. DR. M. Din Syamsuddin mengatakan bahwa NKRI adalah harga mati. NKRI yang berdasarkan Pancasila tidak hanya ideal, tetapi juga final. Dalam kitab Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wal al-Jamaah pun disebutkan bahwa mayoritas golongan ulama ahlussunnah wal jama’ah tidak diperbolehkan membangkang terhadap pemimpin-pemimpin yang zalim dan menyeleweng dengan jalan memerangi, selama kezaliman dan penyelewengannya tidak sampai kepada kekufuran yang jelas atau meninggalkan shalat dan dakwah kepadanya atau memimpin umat tanpa berdasarkan kitabullah.

Lantas, masihkah pantas jika ada kelompok radikalis yang terus melakukan tindak bughat dengan menggunakan topeng agama Islam? Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

24 jam ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

1 hari ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago