Individu atau kelompok yang menjadi korban penindasan di masa lalu memiliki kemungkinan kuat untuk menjadi pelaku penindasan di masa depan. Demikian ucap sosiolog Frantz Fanon. Ungkapan itu muncul dalam konteks kajian negara poskolonial.
Ia menyebut bahwa negara yang pernah mengalami kolonialisme alias penjajahan justru paling banyak melahirkan diktator. Sebaliknya, negara yang tidak pernah mengalami sejarah penjajahan justru nisbi sedikit melahirkan diktator.
Artinya, kelompok yang memiliki rekam jejak tertindas memiliki kemungkinan untuk menjadi penindas di masa depan. Teori ini mendapat validasinya dalam sejumlah fenomena. Misalnya dalam kasus bangsa Yahudi. Dulunya mereka menjadi korban kekerasan dan genosida oleh tentara Nazi Jerman. Kini, mereka menjadi pelaku kekerasan dan genosida terhadap rakyat Palestina.
Dalam skala mikro, kita melihat bagaimana individu yang tertindas sekian lama oleh lingkungan (keluarga, teman, masyarakat) akhirnya meluapkannya dengan perilaku kekerasan acak. Kasus penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat yang marak terjadi umumnya dilatari oleh kasus perundungan alias bullying. Pelaku penembakan biasanya adalah siswa yang sehari-hari selama sekian tahun mengalami perundungan baik fisik, verbal, sosial, maupun daring.
Dalam teori psikologi perkembangan anak pun, dijelaskan bahwa pola pengasuhan berbasis kekerasan hanya akan melahirkan generasi yang cemas, kesulitan mengontrol emosi, dan mudah marah.
Teori poskolonialisme Fanon atau teori psikologi perkembangan kiranya relevan untuk melihat fenomena serangan teror bom molotov di SMAN 72 Jakarta, Jumat lalu. Sebagaimana ramai dilansir media massa, seorang siswa menyerang jamaah solat Jumat dengan bok molotov. Konon kabarnya, pelaku dikenal sebagai korban bullying.
Menariknya, ketika melakukan aksinya ia membawa senjata mainan dimana terdapat kode atau simbol yang merujuk pada ideologi ultra konservatisme kanan, seperti Neo Nazi dan white supremacy.
Lantas, bagaimana praktik perundungan bisa mendorong proses radikalisasi? Pertama, secara psikologis mental individu atau kelompok korban penindasan Atawa bullying itu penuh dengan perasaan takut sekaligus marah.
Ketakutan dan kemarahan yang terakumulasi sekian lama rawan menimbulkan dorongan untuk balas dendam. Ketakutan dan kemarahan cendrung membuat individu kehilangan akal sehat dan kebijaksanaan dalam menentukan sikap atau perilaku. Alhasil, kekerasan dibalas dengan kekerasan yang melahirkan apa yang disebut sebagai the spiral of violence. Korban kekerasan bertransformasi menjadi pelaku.
Kedua, korban perundungan umumnya akan mengalami krisis identitas. Mentalnya remuk, rasa percaya dirinya terjun drastis. Korban bullying akan merasa dirinya tidak berharga. Ketidakberdayaan ini rawan membuka celah masuknya ideologi radikal yang kerap menawarkan maskulinisme, superioritas absolut, citra heroisme, glorifikasi perjuangan, dan segala hal yang dinarasikan sebagai simbol kekuatan dan kemenangan. Maka, banyak individu yang terjebak radikalisasi sebenarnya memiliki latar belakang krisis identitas yang akut termasuk para korban bullying yang dulunya dianggap lemah.
Korban bullying menganggap praktik kekerasan akan memulihkan kepercayaan dirinya dan menempatkan ia dalam posisi terhormat. Dengan melakukan kekerasan, para korban bullying akan merasa dirinya telah lepas dari label pecundang yang selama ini dialamatkan padanya.
Ketiga, korban bullying secara otomatis akan tersisihkan dari lingkungan sosial. Ia merasa kesepian. Kondisi kesepian ini juga membuka celah bagi korban bullying untuk bergabung dengan kelompok radikal ekstrem.
Acapkali, banyak simpatisan gerakan radikal ekstrem itu bergabung bukan dengan motif politis apalagi ideologis. Melainkan sekedar mencari teman atau melarikan diri dari kesepian dan tekanan sosial yang tinggi.
Grup-grup Telegram yang terafiliasi dengan ISIS misalnya, tidak semua anggotanya adalah sosok-sosok ideologis. Lebih banyak dari mereka yang sekedar mencari teman, saling curhat, dan melarikan diri dari relasi pertemanan atau keluarga yang toxic alias tidak nyaman.
Korban bullying merasa harus menjadi bahkan dari komunitas atau kelompok untuk menunjukkan jati dirinya. Sedangkan, fakta menunjukkan bahwa kelompok radikal ekstrem harus diakui cenderung lebih egaliter dan inklusif.
Semua individu dari kelas sosial, latar intelektual, atau identitas apa pun pasti diterima dengan terbuka oleh kelompok radikal ekstrem. Itulah mengapa korban bullying banyak yang bergabung ke gerakan radikal ekstrem.
Di titik ini kita tidak dapat menganggap sepele fenomena kekerasan psikologis yang mewujud pada praktik bullying. Perundungan adalah dosa sosial yang dampaknya kompleks. Problem psikologis dan mental yang dialami korban bullying bisa berakibat ke penyimpangan perilaku yang bahkan tidak terduga. Aksi teror di SMAN 72 Jakarta yang konon dilakukan oleh siswa korban bullying menjadi bukti bagaimana praktik kekerasan psikologis itu berpotensi menyuburkan ekstremisme.
Aka, mencegah bullying, secara tidak langsung adalah bagian dari memutus rantai penyebaran ideologi ekstrem. Mencegah bullying adalah langkah menutup celah radikalisme di kalangan anak dan remaja. Memastikan mereka tumbuh tanpa tekanan sosial dan psikologis adalah cara untuk menyelamatkan mereka dari radikalisme dan ekstrmisme.
Akhir pekan yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh berita yang membuat siapa saja tercengang. Seorang siswa…
Kita harus menyadari sepenuh hati bahwa bangsa Indonesia ini takkan pernah berdiri tegak jika para…
Konflik yang kembali membara adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan di abad ke-21. Negeri…
Sudan menjadi kuburan massal bagi warganegaranya sendiri. Sekitar 2000 warga sipil Sudan terbunuh dalam perang…
Dhalang puniku Ingsun Tanpa cempala yaga lan ringgit Tanpa kothak keprak sindhen puniku Tanpa kelir…
Sudah kita sepakati bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Oleh karenanya kita harus…