Belakangan ini publik sedang ramai menikmati sajian film biografis Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang populer disebut Buya Hamka. Beliau adalah sosok cendekiawan Muslim (ulama), sastrawan, budayawan asal Minangkabau. Dalam rangka peringatan hari pendidikan Nasional yang dirayakan tiap tanggal 2 Mei, perlu kiranya kita meneladani sosok tokoh besar Muslim yang kosmopolitan ini.
Seusai menonton film ini, saya begitu tergugah dengan Buya Hamka, sebagai sosok tokoh besar Muslim Indonesia tentu perannya dalam dunia pendidikan serta upaya membangkitkan nasionalisme umat Islam begitu penting untuk dijadikan teladan moral bangsa. Ia merupakan pembelajar dan pendidik yang tekun dalam memproduksi wacana keilmuan di masanya.
Dari kecil ia belajar di Surau Jembatan Besi, yang menjadi cikal bakal dari berdirinya Sekolah Sumatera Thawalib Padang Panjang yang menjadi role model sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Selain itu, di masa mudanya ia sempat menimba ilmu di Mekkah beberapa tahun kepada para tokoh muslim besar di sana. Baginya pendidikan adalah jalan terpenting untuk meningkatkan kualitas diri, apalagi pendidikan adalah kewajiban utama dalam agama.
Di masa hidupnya, Buya Hamka adalah sosok penulis dan orator (pendakwah) yang ulung. Tak heran masyarakat Indonesia banyak yang terpikat dengan intelektualitas dan spiritualitas Buya Hamka. Banyak karya yang dihasilkannya, mulai dari karya sastra hingga buku-buku ilmiah yang serius. Seperti buku Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Tafsir Al-Azhar, Tasawwuf Modern, Kembali Ke Rukyat dan lain sebagainya.
Pendidikan dan aktivisme untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah ruh dalam diri Buya Hamka. Keduanya sama-sama dijalankan dan menjadi philosopy of life yang melekat dalam dirinya. Ia terus mendidik umat untuk berislam secara kaffah dan rasional. Aktivismenya dilakukan dengan cara menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Pedoman Masyarakat untuk menjadi counter narasi terhadap pengaruh kolonialisme.
Ia begitu mencintai bangsa Indonesia, Buya Hamka turut berjuang dalam upaya kemerdekaan sekaligus mempertahankan cita-cita kemerdekaan melawan kolonial. Melalui tulisan-tulisannya dan ceramahnya, ia menelurkan berbagai pemikiran modernis dan rasional yang berpijak-pijak kepada “api Islam” atau substansi nilai-nilai Islam yang ada dalam Al-Quran dan Hadist.
Dalam konteks Nasionalisme, Bagi Buya nasionalisme diartikan sebagai salah satu bentuk cinta tanah air. Ia menjadi tokoh penganut dari nasionalisme, yang penting baginya nasionalisme tidak menjauhkan umat dari jalan berpikir Islam. Islam bagi Buya Hamka mengakui nasionalisme, karena di dalam ideologi ini perbedaan suku dan bangsa merupakan sunnatullah, agar antara satu dengan yang lain saling mengenal.
Dalam buku Tafsir Al-Azhar yang ditulisnya ketika dalam penjara, ia banyak menguraikan tentang tafsir mengenai nasionalisme dalam Islam, seperti surat Al-A’raf ayat 34, Al-Baqarah ayat 177, Al-Baqarah ayat 190, dan ayat-ayat yang lainnya. Artinya, prinsip Nasionalisme ternyata termuat dalam beberapa ayat Al-Quran, tinggal bagaimana tafsir yang digunakan oleh seseorang dalam membaca ayat-ayat Al-Quran.
Menurut Buya Hamka, negara itu sebagai sarana yang akan bisa memelihara agama, kalau tidak ada negara, agama akan mengalami kesulitan berkembang. Oleh karena itu, bela negara dan cinta tanah air sama dengan membela agama dan cinta terhadap agama. Buya Hamka mengatakan dalam melindungi eksistensi keberadaan bangsa diperlukannya iman yang kuat sebagai tonggak dalam membela kepentingan bangsa.
Menurut James Rush (2017), sejak 1930-an tulisan-tulisan Buya Hamka dipengaruhi semangat kemerdekaan dan nasionalisme, meskipun ia sendiri bukan seorang politikus nasionalis, tapi yang pasti dia seorang nasionalis. Baik secara terang-terangan maupun terselubung ia banyak menulis hal yang bersifat subversif terhadap pemerintahan kolonial.
Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya, meskipun mengutamakan pendidikan Islam, namun berpihak pada perjuangan antikolonial, ini merupakan tempat berkiprah kaum nasionalis untuk menuangkan pemikirannya, dan sering memuat tokoh yang sedang berada dalam pengasingan, seperti Muhammad Hatta.
Tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pemimpin nasional dan orang-orang lain yang dianggap melakukan kegiatan subversif, seperti ayah Hamka (Haji Rasul), dimuat secara terbuka. Dan tulisan Hamka tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti Imam Bonjol, menitikberatkan watak anti kolonial perlawanannya.
Dalam berbagai tulisannya, Buya Hamka tegas mengatakan bahwa kalau ada orang yang tidak ada rasa cinta tanah airnya, tandanya otaknya tidak beres. Agak “berbulu” sedikit kalau tidak cinta tanah air. Lebih-lebih kalau mengkhianati bangsa ini. Akhirnya, semoga teladan pendidikan dan spirit nasionalisme yang digaungkan Buya Hamka akan terus menjadi teladan bagi bangsa ini. Selamat hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023.
This post was last modified on 2 Mei 2023 4:09 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…