Deradikalisasi adalah proses mengubah ideologi atau pandangan seseorang dari yang tadinya radikal (anti-kebangsaan) menjadi berpandangan moderat, dalam artian adaptif pada kemajemukan dan anti-kekerasan.
Deradikalisasi salah proses panjang alias tidak instan. Keberhasilan deradikalisasi juga tidak hanya ditentukan oleh satu pihak atau lembaga saja. Keberhasilan deradikalisasi membutuhkan sinergi lintas sektor. Mulai dari pemerintah, lembaga keagamaan, jaringan masyarakat sipil, lembaga pendidikan, dan umat pada umumnya.
Ironisnya, sebagian kalangan masih kerap memandang sinis agenda deradikalisasi yang dilakukan pemerintah melalui BNPT. Ada anggapan misalnya yang menyebut bahwa program deradikalisasi hanya menghamburkan uang negara. Anggapan itu sebenarnya absurd karena tidak berbasis pada data valid.
Noor Huda Ismail, pakar dan peneliti terorisme menyebut bahwa dari total narapidana yang mendapatkan program deradikalisasi, tercatat 90 persen kembali ke masyarakat dengan pandangan yang normal (tidak radikal). Dan, hanya 10 persen yang kembali terjerumus ke dalam jaringan terorisme.
Statistik itu tentu mencerminkan bahwa program deradikalisasi itu berhasil. Bahwa ada mantan napi terorisme yang kembali ke organisasi ekstrem itu adalah fakta yang tidak bisa dinafikan. Namun, bukan berarti bahwa deradikalisasi gagal total.
Bukti nyata capaian atau keberhasilan deradikalisasi salah satunya adalah perubahan pola pikir para pentolan gerakan ekstrem dari yang dulunya anti-demokrasi menjadi adaptif pada sistem demokrasi. Hal ini tampak pada sikap Abu Bakar Baasyir yang secara eksplisit menunjukkan sikap dukungannya pada salah satu Paslon Capres-Cawapres 2024.
Pasangan capres-cawapres mana yang didukung oleh Baasyir itu sebenarnya bukan isu penting, apalagi jika ditinjau dari kajian terorisme. Yang terpenting untuk digarisbawahi adalah kenyataan bahwa Baasyir sekarang mau menerima demokrasi bahkan ikut berpartisipasi secara aktif dalam Pemilu atau Pilpres.
Apa yang Harus Dibenahi dari Deradikalisasi Ke Depannya?
Membayangkan seorang Baasyir mau ikut Pemilu dan Pilpres saja rasanya sulit. Bagaimana tidak? Sepanjang hidupnya ia dikenal lantang menolak nasionalisme dan demokrasi. Ia menuding nasionalisme dan demokrasi sebagai produk pemikiran orang kafir yang tidak sesuai dengan Islam. Di atas mimbar ia tidak segan menyebut Indonesia dan para aparatur pemerintahannya sebagai thaghut. Labelisasi thaghut ini bukan persoalan sepele, lantaran kerap dijadikan pembenaran untuk melakukan teror dan kekerasan pas lembaga negara.
Pernyataan Baasyir yang secara eksplisit akan mengikuti Pemilu dan Pilpres, bahkan telah menyatakan dukungan politiknya harus dicatat sebagai capaian deradikalisasi yang penting. Deradikalisasi nyatanya tidak mengubah pandangan yang tadinya radikal menjadi moderat. Lebih dari itu, deradikalisasi nyatanya mampu membuat individu radikal-ekstrem yang anti nasionalisme berubah menjadi agen demokrasi.
Sikap Baasyir ini perlu diamplifikasi lebih luas lagi sebagai semacam pesan bagi kalangan konservatif radikal agar mengubah pandangannya. Sebagai tokoh dan ikon gerakan radikalisme, transformasi paradigma Baasyir dari yang awalnya men-thaghut-kan NKRI hingga mau ikut Pemilu tentu akan berdampak signifikan. Bukan tidak mungkin, sikap Baasyir ini akan menarik gerbong besar kelompok radikal-ekstrem untuk pada akhirnya menerima demokrasi dan meninggalkan ideologi khilafahisme atau daulahisme yang mereka yakin selama ini.
Pemilu dan Pilpres 2024 ini menjadi momentum tepat untuk menakar keberhasilan deradikalisasi. Pernyataan sikap Baasyir, sang ikon gerakan Jamaah Islamiyyah yang tiba-tiba adaptif pada Pemilu dan Pilpres adalah bukti bahwa deradikalisasi itu efektif. Dan, tentu tidak ada alasan untuk menghentikan program ini.
Ke depan, yang perlu dilakukan adalah mengintensifkan agenda deradikalisasi. Tersebab, masih banyak hal yang perlu dibenahi dari program deradikalisasi ini. Sejumlah mantan napi teroris yang kembali ke organisasi radikal tentu patut menjadi catatan. Kita harus jeli melihat, faktor apa yang melatari mantan napi teroris ini kembali ke organisasi radikal.
Jika dilihat seksama, motif kembalinya mantan napi teror ke organisasi radikal itu tidak selalu karena pertimbangan ideologis. Namun, lebih sering karana faktor psikologis (kesepian), sosiologis (dikucikan) dan ekonomi (tidak memiliki pekerjaan).
Dalam konteks ini kita tentu patut mengapresiasi agenda deradikalisasi BNPT yang belakangan mulai menggunakan pendekatan berbasis kesejahteraan. Dengan memberdayakan kehidupan mantan napi teror, baik secara finansial maupun sosial, kita patut optimis mereka tidak akan kembali ke jalan lama, yakni jalan yang penuh kekerasan dan teror.
This post was last modified on 22 Januari 2024 12:11 PM
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…