Kedzaliman dan ketidakadilan harus dan wajib ditentang. Masyarakat tidak boleh diam ketika merasa dirugikan dan hak-haknya dirampas oleh penguasa. Berjuang menyampaikan aspirasi dan kritik adalah bentuk jihad paling mulia di depan penguasa.
Namun, menggerakkan massa dengan tanpa kontrol bukan juga suatu solusi. Jika yang diingkan adalah subtansi pengerahan massa yang tidak mampu dikelola secara baik hanya memunculkan emosi, bukan mosi tidak percaya. Demonstrasi besar-besaran potensial ditunggangi dengan berbagai kepentingan.
Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang berujung anarkis di berbagai daerah memang sangat disesalkan. Namun, sesal itu bukan hanya pada dampak, tetapi juga akarnya. Artinya, sebab demonstrasi karena kebijakan dan peraturan yang dianggap tidak adil. Itulah mestinya yang menjadi titik persoalan.
Tidak bisa disalahkan sepihak jika ada kerusakan dan kekerasan di jalan. Toh, ini sebuah konsekuensi logis dari demokrasi. Begitu pun kelompok yang menunggangi dan memprovokasi adalah bagian dari cara mereka berebut kepentingan di tengah maraknya emosi.
Namun, Islam sebenarnya sangat memperhatikan tidak hanya pada tujuan tetapi cara. Tujuan yang baik juga harus dilakukan dengan cara baik. Bukan karena tujuan itu baik berarti segala cara menjadi halal. Apakah berarti menyampaikan aspirasi yang baik dibenarkan dengan cara kekerasan?
Ketaatan terhadap pemimpin dalam Islam adalah suatu kewajiban. Namun, mengontrol dan memberikan masukan terhadap pemimpin juga suatu keharusan. Bukan persoalan menyampaikan aspirasi, tetapi pada persoalan bagaimana menyampaikannya.
Karena itulah saya teringat dengan ucapan Imam Syafii yang sangat terkenal : “Siapa yang menasehatimu secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasehatimu. Siapa yang menasehatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya menghinamu”.
Sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Imam Syafii adalah bahwa terkadang seseorang ingin memberikan nasehat, tetapi sebenarnya ia bertujuan untuk mempermalukannya. Memberikan nasehat di depan umum membuka aib dan borok bagi yang dinasehati. Menasehati dengan berteriak lantang di depan umum sama halnya dengan membuka aib. Tujuan asalnya menjadi hilang.
Karena itulah, hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah :
Artinya : “Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim).
Apa yang ingin disampaikan dari nasehat seperti ini adalah dengan cara baik, elegan dan konstitusional. Dalam kerangka sistem pemerintahan dahulu tentu belum ada instrument lembaga yang menguji perundang-undangan. Menguji kebijakan dengan cara yang konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi adalah praktek memberikan nasehat dengan cara baik. Banyak cara yang bisa dilakukan agar memberi nasehat bukan sekedar mengumbar emosi tetapi memang untuk bertujuan merubah subtansi kebijakan. Di alam demokrasi seperti ini semestinya cara yang elegan dan baik sudah sangat banyak tersedia. Artinya, seorang muslim dapat memilih cara yang baik dalam menyampaikan aspirasi dengan tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan.
This post was last modified on 8 Desember 2020 12:04 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…