Narasi

Catatan Buruk Kelompok Ekstrimisme

Hampir semua ulama Islam moderat telah menegaskan bahwa kelompok ekstrimis yang mengatasnamakan diri memperjuangkan Islam telah mendistorsi teks-teks agama dari konteks sebenarnya. Tidak sedikit buku yang telah ditulis baik ulama di timur tengah maupun di Asia dulu dan sekarang telah mengupas kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimisme dalam memahami teks-teks tersebut sehingga berakibat buruk dalam tindakannya bukan saja sekarang tetapi sejak dulu dan bahkan pada saat Kehalifahan Khulafaurrasyidin.

Abdul Rahman bin Muljam misalkan menusuk Sayyidina Ali Bin Abi Tholib seorang sahabat dan kerabat Nabi Muhammad Saw saat ia pulang sholat subuh dari Mesjid hanya karena pemahamannya yang sangat ekstrim terhadap ayat-ayat Alquran dan pemahaman tentang siapa yang sesungguhnya termasuk kategori beriman dan siapa yang tidak termasuk dalam kategori beriman. Ekstrimisme terus menjadi duri dalam perjalanan sejarah Kekhilafahan Islam yang menjadi ujung tombak oleh kekuatan-kekuatan politik yang ingin berkuasa dan meraih kemenangan atas lawan-lawannya. Hasasyin misalnya menjadi momok di kalangan para penguasa dan tokoh-tokoh agama yang seringkali membantai dan membunuh tokoh-tokoh agama yang dianggap berpengaruh termasuk tokoh-tokoh kehilafaan.

Tidak sedikit ulama dan tokoh masyarakat yang korban di tangan hasyasin tanpa diketahui jejaknya. Itu di masa lalu. Di masa, moderen juga banyak catatan buruk kelompok ekstrimis yang mengerikan masyarakat bahkan mencederai umat Islam itu sendiri. Di Mesir misalnya aksi bejat kelompok ekstrimisme cukup marak terjadi pada era itu. Farag Faoda, misalnya, seorang penulis di Mesir pada medio tahun 90an ditembak di depan rumahnya hanya karena dianggap menyinggung perasaan kelompok-kelompok ekstrim. Belum lagi pejabat-pejabat pemerintah dan aparat Mesir yang tewas di tangan kelompok ini.

Di Irak pasca runtuhnya pemerintahan Saddam Hussein, Abu Mos’ab El Sharqawi tahun 2000an secara terang-terangan tampil sebagai jagoan yang paling menakutkan. Ia dan teman-temannya  menyembelih secara terbuka siapapun yang dianggap antek-antek Amerika tidak peduli dia orang Irak muslim atau orang asing. Mereka menyembelihnya tanpa rasa berdosa dan meneriakkan kemenangan. Ironisnya lagi mereka menyebar video-video penyembelihan itu dengan ucapan syahadat dan takbir.

Di Sudan pada era yang bersamaan, mereka menculik seorang Pimred Harian setempat,  Taha Hussein, saat yang bersangkutan beristirahat dengan keluarganya kemudian membawanya ke suatu tempat lalu menyembelihnya dengan ucapan takbir layaknya menyembelih hewan qurban. Taha dibunuh secara sadis bahkan biadab hanya karena ia menulis di editorial hariannya tentang fenomena radikalisme dan ekstrimisme yang mulai merambah di kalangan anak muda di negeri itu.

Kini di tanah air, kita saksikan fenomena-fenomena serupa. Mereka belum menyembelih sesamanya secara terbuka tetapi mulai menggunakan  apa saja yang mereka miliki. Kasus di Polda Sumatera Utara dan di Masjid Falatehan baru-baru ini mengingatkan kita kembali pada era Khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana seorang muslim yang taat beribadah dan hafal Alquran bernama Abdul Rahman bin Muljam tetapi tega menusuk jasad seorang Khalifah yang dimuliakan oleh kaum muslimin bahkan dijamin masuk surga oleh Rasulullah Saw saat ia pulang menunaikan ibadah sholat subuh.

Mungkinkah kasus Mesjid Falatehan terinspirasi dari kasus Abdul Rahman bin Muljam dan mungkinkan kasus-kasus yang terjadi di kalangan umat Islam di kawasan Timur Tengah juga telah menjangkit ke generasi-generasi muda di tanah air. Lambat atau cepat fenomena itu bisa saja terjadi di tengah-tengah kita jika fenomena radikalisme dan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama tidak segera diatasi di negeri ini.

Persoalannya bersimpati dan memberikan angin apalagi diam-diam mendukung dan membenarkan tindakannya akan semakin membuka peluang bagi mereka untuk menambah dan meningkatkan tindakannya ke level yang lebih mengerikan. Kemudian apakah kita masih akan menilai mereka sebagai kelompok yang memperjuangkan Islam dalam melawan Thogut atau kekafiran ? seperti itukah Dakwah Islam yang diwajibkan oleh Islam kepada pengikutnya?

Jawabnya tentulah tidak demikian karena siapapun yang mempelajari Islam secara sungguh-sungguh dan mendalam tidaklah akan melahirkan generasi-generasi seperti itu. Ekstrimisme hanyalah sebuah doktrin yang didasarkan pada kekecewaan dan hawa nafsu yang berlebihan untuk sebuah keinginan yang tak berdasar dengan dalih agama yang telah mengakibatkan sejumlah catatan buruk dalam sejarahnya.

This post was last modified on 4 Juli 2017 2:32 PM

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

21 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

21 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

21 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

21 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago