Narasi

Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman

Semenjak kelahirannya, Indonesia telah membawa berbagai persoalan, yang untungnya bisa disikapi secara dewasa oleh para Bapak Bangsa. Sehingga, percikan konflik yang berpotensi merusak tatanan masyarakat, bisa diredam. Misalnya, penghapusan tujuh kalimat dalam sila pertama Pancasila, merupakan sinyal kuat bahwa negara-bangsa Indonesia dibangun untuk merangkul semua manusia di Nusantara, tanpa terkecuali. Sehingga, berbagai macam suku, ras, agama, dan golongan bisa hidup berdampingan, dengan tetap menghargai dan merawat perbedaan yang ada. Suatu kondisi yang tidak bisa kita temukan di negara lain, termasuk Timur Tengah -yang selalu diguncang peperangan.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah mencatat beberapa konflik yang muncul dari kelompok sparatis. Mereka merasa tidak cocok dengan pemerintah, lalu menginginkan untuk ‘merdeka’. Ada pula kelompok yang menghendaki perubahan dasar negara menjadi ‘dasar yang lebih islami’. Dalam hal ini, ingatan kolektif kita agaknya menyimpan nama Kartosuwiryo, tokoh sentral Negara Islam Indonesia (NII), yang menghendaki penerapan syariat Islam sebagai hukum positif.

Sadanand Dhume, Jurnalis Australia yang melakukan inverstigasi perihal gerakan Islam garis keras, mengatakan bahwa semenjak 1970-an, Islam Indonesia sudah mulai dilucuti dari khazanah asalnya, dengan kombinasi urbanisasi yang cepat, penyeragaman pendidikan agama oleh rezim Soeharto, dan pemurnian Islam ala Timur Tengah. Toleransi yang dianut negara-bangsa Indonesia, justru dimanfaatkan kelompok garis geras untuk menggerogotinya dari dalam. Sehingga, tuntutan untuk melaksanakan ajaran model Arab abang pertengahan yang diabadikan dalam hukum syariah, yang ditolak para pendiri bangsa puluhan tahun lalu, mulai bersemi lagi. (Sadanand Dhume: 2009) Ini bisa kita lihat dari kasus kekerasan yang kerap menimpa minoritas, yang ironisnya dilakukan oleh muslim dengan cita rasa toleransi yang minim -karena berprinsip Islam ala Arab.

Mestinya, kita meneladani para pendiri bangsa yang lebih mengedepankan persatuan jauh di atas egoisme individu dan kelompok. Mereka memandang bahwa negara tidak bertentangan dengan agama, begitu juga sebaliknya. Bahwa negara sebagai instrumen untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, dan keamanan warganya, sementara nilai universal agama dijadikan sebagai spiritnya. Sebagaimana Pancasila, yang jika dicermati secara seksama, kita akan menemukan nilai-nilai Islam (dan juga agama lain) di dalamnya. Sehingga, penerapan syariat Islam sebagai hukum positif, apalagi mengganti dasar negara karena dituduh ‘tidak Islami’, tidak perlu dilakukan. Bahkan, jika ada kelompok yang bersikeras menerapkan hal tersebut, wajib kita lawan -tentu bukan dengan jalur kekerasan. Kenapa perlu dilawan? Karena hal itu hanya akan merusak tatanan masyarakat yang telah damai.

Muslim Nusantara Cinta Indonesia

Sebagai mayoritas, muslim Indonesia mestinya bersyukur, karena beberapa lembaga negara lewah mewakili hak politik mereka. Pun, tak perlu risau ajaran Islam redup, hanya karena penilaian segelintir orang yang mengatakan ‘negara toghut karena tidak mendasarkan prinsip-prinsipnya pada al-Qu’an dan as-Sunnah’. Karena sejatinya, kelompok yang menyeru demikian, tidak melek sejarah dan boleh jadi pemahaman Islamnya kurang mendalam.

Kita mesti menyadari perbedaan muslim moderat dengan muslim garis keras. Jika muslim garis geras, selalu mengupayakan penerapan syariat Islam sebagai hukum positif dan ada pula yang menghendaki perombakan dasar negara. Sementara muslim moderat, lebih mengedepankan nilai universal Islam, seperti cinta perdamaian, persatuan, menolak tanpa kompromi pada ketidakadilan, dsb., sementara syariat Islam dijalankan secara kultural. Dengan pandangan moderat, kita akan melihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 sangatlah islami.

KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Fiqh Tata Negara bahkan mengapresiasi atas inisiatif para pendiri bangsa. Bahwa ide pemikiran politik yang terkandung dalam Pancasila merupakan racikan sempurna yang dapat memberikan solusi terwujudnya demokrasi di negara-bangsa yang majemuk. Para pendiri bangsa ini mampu meramunya dengan sangat kreatif. Mereka mengambil jalan tengah antara dua pilihan ekstrim: negara sekuler dan negara agama. Mereka menyusunnya dengan rumusan imajinatif, yakni negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (Afifuddin Muhajir: 2017)

Dengan begitu, muslim nusantara mesti sadar, bahwa tugas mereka kini adalah menjaga agar Indonesia tetap aman-terkendali, bebas dari gangguan oknum pemecah belah. Bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah rumusan final dan tidak bisa diganggu gugat. Dasar negara tersebut juga telah menampung aspirasi agama-agama di Indonesia, sehingga tidak ada alasan untuk mengganti dasar negara dengan prinsip yang lebih islami. Jika masih ada yang berpikir demikian, maka wajib kita lawan.

Imron Mustofa

Admin Online Blog Garawiksa Institute. PU LPM Paradigma Periode 2015/2016

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago