Narasi

Dakwah Berwawasan Kebangsaan Sebagai Jihad Fikriyah di Tengah Arus Transnasionalisme

Era digital harus diakui telah mendorong transnasionalisme ke titik yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di era digital, sekat geografis, ideologis, dan sosiologis, nyaris kabur. Teknologi digital memunkginkan setiap individu di belahan dunia mana pun untuk mengakses sumber-sumber informasi dan pengetahuan dari mana pun juga. Tidak terkecuali dalam hal keagamaan.

Fenomena yang tampak belakangan ini adalah munculnya kegandrungan sebagian umat Islam untuk mengidolakan sosok penceramah dari luar negeri yang memiliki label dan klaim-klaim yang bombastis. Salah satunya adalah Zakir Naik. Sosok yang dipuja-puja oleh pendukungnya karena dianggap memiliki retorika debat keagamaan yang mumpuni.

Sosok yang dianggap singa panggung debat agama, karena diklaim selalu berhasil mengalahkan lawan debatnya. Bahkan mengislamkan lawan debatnya saat itu juga. Popularitasnya sebagai pendakwah pun menjulang tinggi. Termasuk di Indonesia, pangsa pasar dakwah yang memang tinggi karena menguatnya kelompok kelas menengah muslim yang haus ilmu agama, namun tidak tahu harus belajar kemana dan siapa.

Maka, banyak kelas menengah muslim perkotaan hari ini yang lebih mengidolakan sosok Zakir Naik, ketimbang (misalnya) Gus Baha’. Mereka beranggapan bahwa dakwah Zakir Naik yang selalu membandingkan Islam dengan agama lain itu sebagai dakwah yang sesungguhnya. Model dakwah ala kiai Nusantara yang kerap diselipi humor itu dianggap bukan dakwah yang sesuai ajaran Islam.

Cara pandang yang demikian ini jelas salah kaprah. Menganggap dakwah kiai Nusantara yang terselip humor sebagai penyimpangan jelas pemahaman yang tidak tepat. Humor sebenarnya menjadi medium para kiai atau ulama Nusantara untuk menyampaikan pesan secara implisit kepada umat atau jemaah.

Contohnya, Kiai Anwar Zahid yang ceramahnya dikenal penuh humor dan lelucon, itu bukan sekadar melawak di atas panggung. Di balik leluconnya ia sebenarnya menyelipkan pesan penting agar umat Islam merawat tradisi lokal, setia pada bangsa dan negara, serta toleran pada perbedaan agama. Pesan kebangsaan dan kemanusiaan yang dibalut nuansa humor itu bukan hanya efektif secara komunikasi, namun juga mencegah gesekan atau konfrontasi di masyarakat.

Model dakwah ala kiai atau ulama Nusantara terutama berlatar NU dicirikan oleh satu hal, yakni komitmennya pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam setiap ceramahya, hampir pasti para kiai dan ulama Nusantara itu memadukan antara perspektif keislaman dan keindonesiaan. Maka, sampai hari ini tidak ada satu pun ulama atau kiai Nusantara, apalagi berlatar NU yang menyebut Indonesia sebagai negara sekuler dan tidak layak ditinggali oleh umat Islam.

Pertanyaan itu justru muncul dari pendakwah luar negeri yang di negara asalnya pun dilarang berceramah, bahkan diusir. Menjadi ironis, jika sosok yang menyebut Indonesia bukan negara terbaik bagi umat Islam itu justru diidolakan oleh umat Islam. Seharusnya, umat Islam Indonesia lebih mengidolakan para kiai atau ulama Nusantara yang berdakwah dengan perspektif wawasan kebangsaan.

Fenomena dakwah transnasional yang kerapkali justru mendistorsi ideologi bangsa ini harus dilawan dengan menguatkan dakwah berwawasan kebangsaan. Dakwah berwawasan kebangsaan adalah bentuk jihad fikriyah, yakni perjuangan intelektual di tengah derasnya arus transnasionalisme belakangan ini. Arus transnasionalisme membawa banyak residu ideologis dan sosiologis. Antara lain, masuknya paham anti-kebangsaan seperti khilafah dan sejenisnya.

Dakhwa transnasionalisme yang sarat kebencian terhadap agama lain memang tidak secara langsung menyuruh umat melakukan kekerasan dan teror pada agama lain. Dakwah transnasional juga bukan agresi militer yang menghadirkan ancaman fisik. Model dakwah transnasional yang kerap mendistorsi fondasi kebangsaan lebih tepat dikatakan sebagai ancaman yang tidak tampak, namun berbahaya.

Maka, cara untuk melawannya pun idealnya lebih mengandalkan kekuatan pikiran, ketimbang pendekatan keamanan atau militeristik. Jihad fikriyah alias perjuangan intelektual, kiranya menjadi strategi yang tepat untuk membendung fenomena penyesatan massal di balik model dakwah transnasional tersebut.

Jihad fikriyah itu idealnya termanifestasikan ke dalam model dakwah ala Nusantara yang adaptif pada perbedaan agama dan budaya. Dakwah yang menjunjung kemaslahatan, bukan hanya kebenaran sepihak. Dakwah yang membuat umat memiliki kepekaan terhadap golongan minoritas, bukan justru mengobarkan sentimen kebencian.

Di era digital, model dakwah ala Nusantara ini idealnya menjadi mainstream di dunia Islam, tidak hanya di Indonesia. Tersebab, model dakwah ala Nusantara terbukti mampu menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Kondisi ini berbeda dengan sejumlah negara muslim di Timur Tengah yang dilanda konflik berkepanjangan. Salah satunya karena mereka permisif pada model dakwah yang bertendensi sektarianistik dan memecah-belah.

Dakwah ala Nusantara yang kental dengan perspektif keindonesiaan adalah jihad fikriyah alias perjuangan intelektual melawan arus transnasionalisme. Dakwah transnasional yang cenderung anti perbedaan tidak perlu dilawan dengan kekuatan militer. Melainkan cukup dilawan dengan mengembangkan model dakwah yang mengedepankan aspek maslahat dan komitmen pada prinsip kebangsaan.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Kontroversi Zakir Naik: Menyoal Dakwah Transnasional Bercorak Apologetik-Konfrontatif

Pasca tampil di siniar bersama mualaf Richard Lee yang sempat mendulang kontroversi, pendakwah asal India,…

15 jam ago

Kyai dan Nyai Kampung, “Rumah” Dialog Remaja Agar Selamat dari Ideologi Dakwah Transnasional

Lazim dipahami bersama, kyai kampung adalah figur  otoritas bagi jamaah di kampung, desa, kalurahan, bahkan…

16 jam ago

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

4 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

4 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

4 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

5 hari ago