Narasi

Dakwah Nusantara: Menegaskan Nilai Moderasi dan Wawasan Kebangsaan

Pada tanggal 13 Desember 1957, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja melakukan semacam “dictum” yang sifatnya penegasan kembali akan kemerdekaan bangsa. Bahwa Indonesia sejatinya harus benar-benar merdeka. Baik dari penguasa asing, kesadaran untuk melindungi kekayaan tanah air, serta mengokohkan ikatan yang pararel dalam menyatukan wilayah dan laut yang begitu membentang luas. Agar berada dalam garis kesatuan yang berdaulat di dalam rumah NKRI itu sendiri.

Di era saat ini, paradigma kesadaran nusantara saya kira tampak relevan untuk digaungkan kembali. Dalam versi dakwah yang arahnya menyatukan, harmonisasi, menggaungkan perdamaian antar umat beragama dan mendeklarasikan nilai-nilai agama yang lebih egalitarian. Serta pembentukan semangat kebangsaan yang lebih harmonis dan optimis selalu bersatu-padu dalam rumah NKRI.

Dengan membentuk dua paradigma dakwah kenusantaraan. Yaitu (personal dan impersonal). Bagaimana mendeklarasikan nilai-nilai keagamaan yang tepat pada tempatnya. Pertama, dakwah personal seperti meliputi persoalan tauhid, prinsip hukum dan doctrinal itu sejatinya sebagai kesadaran agama yang sifat dan tujuan adalah personal “prinsip imanen”. Tentu tidak boleh ditampakkan ke luar permukaan. Karena akan berdampak kepada pertentangan dengan keyakinan yang lainnya. Dari sinilah rawan akan konflik kebenaran yang berlandaskan keimanan terjadi. Memuncak menjadi semacam “wabah” beragama karena tidak menaruh porsi keagamaan pada tempatnya.

Kedua, dakwah yang impersonal, adalah mendeklarasikan nilai-nilai keagamaan ke luar permukaan sebaik, seindah dan sebagus mungkin. Agar mereka yang berbeda, semakin tertarik untuk mau mendengarkan dan sama-sama saling memahami bahwa pada dasarnya tidak ada agama mana-pun yang mengajarkan kekerasan atau berbuat kerusakan. Artinya, sebuah proses di dalam membentangkan nilai-nilai agama ke luar permukaan yang bisa memberikan rahmat kepada yang lain.

Dari sini tampak jelas sekali. Bahwa merdeka di dalam beragama itu penting. Salah satunya adalah membangun orientasi dakwah yang berwawasan nusantara. Artinya, memiliki sub-esensial keagamaan yang melahirkan potensi kebaikan, penyatuan, keharmonisan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Sebagaimana dalam deklarasi Djuanda, bahwa penegasan akan kemerdekaan sejatinya sangatlah penting. Sebagaimana di era saat ini, bahwa kita sedang krisis dalam kemerdekaan beragama yang selalu terjajah oleh egoisme diri dalam beragama. Sehingga, kita perlu membangun nuansa dakwah agama yang menghidupkan prinsip-prinsip kenusantaraan.

Karena kita hari ini benar-benar krisis akan kemerdekaan di dalam beragama. Kelompok satu menggaungkan kebencian kepada kelompok lain yang berbeda. Begitu juga sebaliknya. Mereka saling mendeklarasikan nilai-nilai agama yang bernuansa kebencian, provokatif, permusuhan dan perpecahan. Membentangkan prinsip keagamaan yang anti-nasionalis dan anti-NKRI. Sehingga, krisis kemerdekaan bangsa kita hari ini bukan lagi tentang penjajah asing yang mencoba menguasai dan menghancurkan bangsa ini.

Tetapi lebih tepatnya, kita sendiri yang menjajah bangsa ini. Dengan menampakkan identitas, nilai dan prinsip keagamaan yang arahnya kepada “klaim eksklusif” dan “tidak bersahabat” yang justru berdampak kepada kehancuran dan retaknya keharmonisan bangsa ini. Dari fenomena inilah, kita perlu membangun semacam dakwah yang berlandaskan nilai nusantara. Sebagaimana dalam deklarasi Djuanda. Berusaha untuk menyatukan lautan yang begitu luas, menjaga kekayaan alam dan mendeklarasikan bahwa kemerdekaan bangsa sejatinya harus tetap bersatu dan menjaga rumah NKRI agar terhindar dari kerusakan.            

Dakwah berwawasan nusantara sendiri memiliki fungsi, prinsip dan konsen keagamaan yang bisa menyatukan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Menjaga akan keragaman yang ada sebagai keniscayaan-Nya dalam agama itu sendiri. Serta menjaga akan rumah NKRI sebagai kewajiban dalam beragama untuk mengenyam “baldatun tayyibun warabun ghafur”. Semua berfokuskan pada nilai-nilai agama yang lebih egalitarian, inklusif dan bersahabat dengan yang lain.

This post was last modified on 14 Desember 2020 1:18 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

23 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

23 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

23 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

23 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago