Islam identik sebagai agama moderat. Dalam artian selalu mengajarkan pada pemeluknya untuk bersikap proporsional, dan tidak berlebihan atau ekstrem dalam segala urusan. Entah itu urusan agama, sosial, maupun politik.
Dalam urusan keagamaan, Islam melarang umatnya beribadah secara berlebihan. Misalnya sampai mengabaikan hak tubuh untuk beristirahat. Atau ibadah secara berlebihan sehingga justru menganggu ketertiban umum.
Jika dalam beribadah saja Islam melarang kita fanatik, apalagi dalam berpolitik. Jelas bahwa Islam sangat melarang umatnya untuk fanatik dalam urusan politik. Memang tidak ada dalil yang secara spesifik berisi larangan ihwal fanatisme politik. Namun, ada sejumlah dalil Alquran dan hadist Rasulullah yang melarang umat Islam bersikap fanatik atau memuja berlebihan sosok tertentu.
Di dalam Islam, fanatisme diistilahkan sebagai ghuluw yakni sikap berlebih-lebihan. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan, baik dalam urusan duniawi atau ukhrawi.
Di dalam Alquran Surat Al Madinah ayat ke 77 Allah berfirman, “Katakanlah; wahai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan sebagian manusia dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus”.
Redaksi ayat tersebut memberikan pesan pada kita bahwa sikap fanatik atau berlebihan itu adalah cerminan bawa nafsu negatif. Ayat Alquran ini sesuai dengan hasil penelitian psikologi.
Dari sudut pandang psikologis, individu yang fanatik itu umumnya memiliki gangguan mental akut. Mereka mengalami waham delusional, yakni hanya meyakini kebenaran yang ada dalam pikiran mereka sendiri tanpa mau membuka ruang bagi kebangkitan versi lain.
Membaca Pola Pikir dan Psikologi Kaum Fanatik
Kaum fanatik adalah kaum yang berpikir dikotomistik, melihat segala sesuatu dengan logika hitam-putih. Alam pikir seorang Fanatik itu sudah dikuasai oleh nalar subyektivisme. Mereka menolak fakta yang tidak sesuai dengan keyakinannya dan hanya menerima fakta yang mendukung asumsi subyektifnya.
Maka, kaum fanatik cenderung memuja bahkan mengkultuskan siapa pun yang dicintainya. Dan sebaliknya, membenci bahkan mengutuk siapa pun yang tidak disukainya. Kepada sosok yang disukai, kaum fanatik akan mati-matian mengglorifikasi. Sedangkan kepada pihak yang dibenci kaum fanatik akan gencar mendemonisasi, yakni menganggapnya sebagai iblis yang sangat jahat.
Selain ayat Alquran, terdapat pula hadist Rasulullah yang melarang sikap fanatik.
Hasit riwayat At Tirmidzi itu berbunyi “Cintailah apa yang kamu cintai dengan sekadarnya. Bisa jadi orang yang kamu cintai hari ini harus kau benci suatu saat nanti. Dan bencilah orang yang kamu benci hari ini sekadarnya. Boleh jadi, suatu saat dia menjadi orang yang harus kamu cintai“.
Hindari Sakralisasi dan Kultus dalam Politik
Hadist Rasulullah tersebut sangat relevan diterapkan dalam konteks perpolitikan nasional terutama jelang Pemilu dan Pilpres 2024 ini. Hari-hari belakangan ini kita melihat bagaimana masing-masing kubu pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden terlibat perang opini di media sosial. Perang opini itu kebanyakan menjurus destruktif lantaran masing-masing pihak merasa pilihannya sebagai paling sempurna, dan menganggap pilihan kelompok lain salah.
Padahal, seperti kita tahu, iklim politik Indonesia itu mudah sekali berubah. Lanskap politik nasional sangatlah dinamis. Dua kekuatan politik yang kemarin mesra dan menjalin koalisi bisa saja pecah kongsi dan saling bermusuhan. Sebaliknya, dua musuh bebuyutan dalam politik bisa saja dipertemukan oleh satu kepentingan lalu mau tidak mau mereka bersatu.
Relasi politik di level elite sungguh dinamis. Jika dibaca dari teori dramaturgi Erving Goffman, politik itu ibarat peetunjukan teater yang terdiri atas panggung depan dan belakang. Apa yang tampak di panggung depan itu tidak selalu merepresentasikan realitas yang sesungguhnya. Maka kita sebagai masyarakat jangan mudah terkecoh oleh drama dan gimik politik para elite.
Apalagi sampai mensakralisasi pilihan politik kita. Di tengah politik yang begitu dinamis ini, kita harus menerapkan prinsip Rasulullah; cintai secukupnya, benci seperlunya, tidak perlu berlebihan dan melampaui batas.
Arkian, sikap fanatik terhadap apa pun tidak baik karena hanya akan membuat kita menderita. Fanatik pada sosok tertentu bahkan sampai mengkultuskan atau mensakralkan adalah tindakan bodoh. Idealnya, manusia hanya bergantung pada Allah semata.
Dalam konteks politik 2024, kita tidak perlu fanatik pada sosok capres atau cawapres tertentu. Lantaran sesungguhnya, siapa yang bakal jadi pemimpin negeri ini sudah tercatat sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Segala survei, jajak pendapat, dan sejensinya hanyalah ikhtiar manusia yang bagaimana pun juga pasti terbatas.
Maka, marikah kira mendukung kandidat yang kita jagokan dengan sekadarnya, tidak perlu sampai euforia apalagi terjebak dalam fanatisme buta.
This post was last modified on 31 Januari 2024 12:51 PM
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…
Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…
“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…
Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…