Narasi

Pemilu, Media Sosial dan Pentingnya Meyuarakan Beda Pilihan Tetap Toleran

Pola kehidupan yang semakin maju di era sekarang ini kita memang dimanjakan dengan nikmatnya menggunakan media sosial. Namun di lain pihak kita juga harus pandai dalam memilah kabar-kabar yang bernuansa perdamaian dan menyingkirkan kabar yang berindikasi provokasi kebencian. Dan salah satu yang bisa dilakukan ialah menjadi agen provokator perdamaian dalam dunia maya. Terlebih dalam momen menjelang pesta demokrasi yang tinggal menghitung hari sekarang ini.

Sederhananya sudah seharusnya kita memanfaatkan media sosial sebagai jalan alternatif untuk mengubah provokasi kebencian dengan provokasi perdamaian. Karena dengan memperbanyak interaksi, baik dalam dunia maya maupun nyata kita bisa menyebarkan pesan-pesan kebaikan. Sebuah pesan yang mampu memberikan edukasi dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Pesan yang bisa mengajak masyarakat agar ikut ambi andil dalam menjaga kerukunan menjelang pemilu 2024.

Alasan mengapa kita perlu menjadi insan provokasi perdamaian, dikarenakan masih banyak masyarakat Indonesia yang memang dalam menggunakan media sosial kurang patut. Misalnya mengutamakan budaya share tanpa membaca isi dalam yang disebar tersebut, alhasil tidak sedikit dari kita menjadi salah tafsir. Hal ini sesuai fakta dari UNESCO yang menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.

Fakta kedua menunjukkan, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Data ini semakin menguatkan bahwa menjadi provokator perdamaian, atau menjadi agen penyebar pesan perdamaian sudah menjadi keharusan di negara Indonesia. Faktanya masyarakat lebih menjadikan smartphone sebagai kebutuhan primer, dibandingkan dengan menguatkan literasi buku.

Lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax. Sebagai Reuters Institute yang menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake new versus media yang valid. Diukur lewat Alexa.com beberapa media fake new bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti antaranews dan tempo.co.

Meninjau data yang demikian, maka menjadi penyebar pesan perdamaian menjelang pemilu 2024 sudah seharusnya dilakukan banyak orang. Selain hal ini mengajak seseorang untuk senantiasa berdamai dan mendamaikan diri, ini adalah salah satu untuk membangun jembatan kerukunan dalam berbangsa dan bernegara. Contoh sederhananya seperti ini, provokator kebencian VS provokator perdamaian. Apa yang kita dapatkan dari provokator kebencian, pasti sikap tidak suka, mencaci dan keburukan lainnya akan selalu menyelimuti diri orang tersebut. Namun, apabila provokator perdamaian dioptimalkan, maka akan muncul pemahaman baru, bagaimana pentingnya menjaga kerukunan, kebersamaan dan tentunya akan berujung pada tatanan Indonesia yang mendamaikan.

Dan untuk menjadi provokator perdamaian, semua harus berangkat dari diri sendiri. Kita harus sadar bahwa bangsa ini akan semakin tidak nyaman dan aman apabila provokator kebencian dibiarkan berkeliaran, dan untuk memanipulasi hal tersebut, maka kita harus bertindak/bergerak untuk mengimbangi mereka, dengan menyebar opini-opini yang positif. Salah satunya yaitu mengenalkan kebudayaan yang beraneka, serta perbedaan yang sebenarnya mengantarkan pada kiblat kerukunan.

Pesan-pesan demikianlah yang seharusnya selalu tersalurkan dalam sosial media menjelang pesta demokrasi 2024. Sehingga sikap saling menghargai dan menjaga kebersamaan selalu menjadi poin utama dalam segala hal, termasuk dalam menyikapi pemilu 2024 sekarang ini. Karena yang perlu ditekankan ialah meskipun kita berbeda pilihan harus selalu menjaga budaya toleran di bangsa Indonesia.

This post was last modified on 1 Februari 2024 1:14 PM

Sudiyantoro

Penulis adalah Penikmat Buku dan Pegiat Literasi Asli Rembang

Recent Posts

Islamic State dan Kekacauan Kelompok Khilafah Menafsirkan Konsep Imamah

Konsep imamah adalah salah satu aspek sentral dalam pemikiran politik Islam, yang mengacu pada kepemimpinan…

9 jam ago

Menelaah Ayat-Ayat “Nation State” dalam Al Qur’an

Mencermati dinamika politik dunia Islam adalah hal yang menarik. Bagaimana tidak? Awalnya, dunia Islam menganut…

9 jam ago

Menghindari Hasutan Kebencian dalam Praktik Demokrasi Beragama Kita

Masyarakat Indonesia sudah selesai melaksanakan pemilihan presiden bulan lalu, akan tetapi perdebatan tentang hasilnya seakan…

9 jam ago

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

1 hari ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

1 hari ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

1 hari ago