Narasi

Damai, Dasar Interaksi Umat Beragama

Setelah penulis melakukan pembacaan, pengamatan, dan perenungan mendalam, muncul sebuah kegelisahan yang nyaris tak tertepikan. Betapa tidak. Agama yang memiliki peran dan fungsi untuk mempersatukan perbedaan demi terciptanya sebuah kedamaian dan ketenteraman umat, kini fungsi dan peran tersebut semakin menjauh bak ayang-ayang.

Dalam bahasa Tim PMD, fenomena cara beragama saat ini lebih condong pada mempermainkan agama sebagai alat untuk memicu sesuatu di luar fitrahnya. Artinya, agama dipakai sebagai penyebab lahirnya konflik dan kekerasan (Editorial JD, 11/12).

Benar. Sejarah mencatat bahwa konflik yang merenggut jutaan manusia karena didasari oleh motif agama. Hal ini bisa terjadi lantaran agama dibajak dan dipersempit oleh kepentingan pragmatis kelompok tertentu. Inilah yang disebut Nasr Hamid Abu Zayd bahwa nilai-nilai agama sangat suci nan tinggi (mulia), namun ketika sudah berada di tangan manusia, dan ia menjadi “pembajak agama”, maka nilai tersebut menjadi tereduksi sesuai kepentingannya. Dari sini lahirlah yang namanya pembenaran atas nama agama.

Kenyataan di atas tidak boleh terjadi saat ini, khususnya dalam lingkup kasus Yerussalem. Pemimpin dunia harus menyadari bahwa perdamaian bisa ditempuh tanpa menumpahkan darah. Hal ini bisa terjadi jika segenap penganut agama dunia sepakat untuk berdialog. Jika sudah demikian, maka agama mengambil peran dalam memberikan panduang hidup damai dalam ranah global.

Dalam Islam, interaksi sosial harmonis antar umat sudah terkonsep secara apik. Secara umum, dapat ditemukan bahwa Islam memangun interaksi beda agama atas dasar komunikasi damai. Hal ini, salah satunya, bisa ditilik dari Qs. Al-Mumtahanah [60]; 8, bahwa pembangunan relasi harmonis dan keadilan terhadap orang lain harus selalu diupayakan. Imam Taufiq, dalam Alquran Bukan Kitab Teror; Membangun Perdamaian Berdasarkan Alquran (2016: 202) menekankan bahwa perbedaan keyakinan dan agama tidak bisa dijadikan landasan untuk intoleran.

Islam dan Peradaban Damai

Abdul Aziz Said, seorang pemikir Islam (dalam Taufiq, 2016:49) menyebutkan lima pendekatan Islam dalam perdamaian;

Pertama, damai melalui jalur politik. Pendekatan ini menempatkan negara sebagai salah satu pranata yang mampu menciptakan perdamaian. Dalam Islam, politik merupakan cara menata sebuah agama. Dalam hal ini, perdamaian bisa diusahakan, bahkan dirasakan secara nyata melalui seni-seni dalam politik.

Kedua, damai melalui kekuatan hukum. Dalam pendekatan ini, paradigma Islam dijadikan sebagai landasan etik dan pandangan hidup bagi perwujudan nilai-nilai Islam yang selalu berpihak pada kedamaian. Perwujudan nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, kejujuran, universalitas, perdamaian, dan kebersamaan ini dalam sebuah regulasi. Sehingga, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

Ketiga,  melalui kekuatan komunikasi. Sebuah konflik sering kali terjadi lantaran pola komunikasi parsial dan bahkan terkadang akibat mis-komunikasi. Maka, model pendekatan ini meniscayakan adanya komunikasi yang baik, efektif dan bijaksana. Beberapa praktik komunikasi dalam tradisi Islam ditunjukkan melalui pendekatan rekonsiliasi (shulh dan mushâlahâh), mediasi (wasathâ), dan arbitrase (tahkîm).

Keempat, melalui kekuatan kehendak tidak melakukan sesuatu yang berbasis kekerasan. Bahwa ketika Islam melarang tindakan kekerasan, persekusi, tirani, dan lain sejenisnya, sesungguhnya Islam mengajak umat untuk bertindak yang berlawanan. Dengan demikian, yang harus ditonjolkan dalam pendekatan ini adalah tindakan damai, nirkekerasan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

Terakhir, transformasi damai melalui kekuatan cinta. Paradigma pendekatan perdamaian Islam dipangkasi oleh transformasi ke dalam hati dan pikiran manusia akan nilai-nilai kedamaian. Dan, cinta dan kasih akan membawa fitrah manusia, yakni damai.

Dari uraian di atas, dapat diketengahkan, untuk kemudian sebagai penegasan, bahwa wilayah perdamaian tidak terbatas pada privasi atau intern, melainkan menjadi kepentingan publik atau global. Sebab, perdamaian adalah dasar interaksi umat yang memiliki dampak positif kerena dapat menciptakan sinergitas, yang berdampak lurus pada keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.

Lima cara di atas sesungguhnya sangat relevan diterapkan pada konflik di Yerussalem.

This post was last modified on 14 Desember 2017 2:15 PM

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago