Keagamaan

Dari Intoleransi ke Radikal, Bagaimana Menyembuhkan?

Persoalan kekerasan, anarkisme dan bahkan terorisme bukan sebuah tindakan yang tiba-tiba. Semua tindakan memiliki motif dan justifikasi yang mendorong atau membenarkan tindakannya. Kekerasan seakan menjadi absah bahkan dianggap perjuangan ketika seseorang terilhami pembenaran yang menjadikan kekerasan sebagai “tindakan suci”.

Semua tindakan kekerasan yang meletakkan yang berbeda sebagai musuh diawali dengan sikap intoleransi. Termasuk aksi terorisme selalu dimulai dengan perasaan intoleransi yang tidak senang dengan perbedaan. Tidak ada kekerasan terhadap yang berbeda dilakukan oleh orang yang memiliki wawasan yang terbuka. Tidak mungkin pelaku teror adalah orang yang sangat menghargai keragaman.

Karena itulah, intoleransi sejatinya merupakan penyakit awal yang bisa mendorong pada tindakan yang lebih ekstrim. Memiliki sifat dan sikap intoleran merupakan fase awal seseorang menjadi sangat rentan terhadap berbagai narasi yang mengiring pada pandangan dan sikap radikal. Pada akhirnya, sikap radikal menjadi pintu lahirnya tindakan teror.

Intoleransi bukan sekedar berbahaya sebagai sikap yang melahirkan kekerasan. Lebih jauh lagi, intoleransi bisa menjadi sangat bahaya ketika seseorang merasa benar dengan tindakannya untuk meminggirkan hak, merusak fasilitas, bahkan membunuh orang lain. Pembenaran itu didapatkan karena perasaan diri paling unggul dan merasa yang berbeda sebagai musuh.

Intoleransi adalah penyakit keagamaan yang hampir adalah dalam setiap oknum beragama. Sikap demikian berasal dari tafsir dan pemikiran yang dangkal dalam memahami agama. Tidak hanya itu, faktor lingkungan dan situasi membentuk suatu pemikiran yang merasa yang berbeda sebagai ancaman. Kegagalan dalam memahami ajaran luhur agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian menyebabkan seseorang hanya memegang teguh kredo agamaku paling benar.

Kebenaran agama tentu adalah pengakuan setiap umat beragama. Keyakinan itu harus dan pasti dimiliki oleh setiap umat beragama. Namun, pembenaran terhadap ajaran agama, tidak lantas menjadikan diri menjadi buta untuk menyalahkan hal yang berbeda. Perbedaan adalah rekayasa Tuhan yang justru tidak menginginkan seluruh umat menjadi satu jenis. Tuhan sedang menguji kebaikan manusia untuk saling berlomba dalam kebaikan, bukan untuk saling mengunggulkan kebenaran. 

Menyembuhkan Intoleransi dengan Moderasi

Persoalan intoleransi ini mutlakn harus disembuhkan. Jika tidak, intoleransi akan mudah menjelma menjadi sikap radikal yang pada titik ekstrim bisa melahirkan kekerasan dan teror. Penyembuhan intoleransi harus pula bersumber dari ajaran agama. Menegaskan dalil mdoerasi agama menjadi langkah efektif untuk memangkas intoleransi.

Di dalam al-Qur`an misalnya dijelaskan mengenai dasar-dasar interaksi umat Islam dengan umat-umat lainnya. Allah Swt. berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” [QS. al-Mumtahanah: 8].  

Ayat ini sebagai penegasan bahwa berinteraksi dengan yang berbeda bukan hal yang dilarang dalam agama. Berbuat adil menjadi ciri khas dari umat yang moderat yang selalu berbuat adil terhadap yang berbeda. Perbedaan adalah maha karya Ilahi yang harus disikapi dengan sikap yang penuh hikmah.  Sebagaimana Allah “Serulah [manusia] ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik,” [QS. al-Nahl: 125].

Ajaran agama telah memberikan panduan yang moderat terhadap manusia dalam menghadapi perbedaan. Dua prinsip penting yang harus ditegakkan ketika menghadapi perbedaan adalah ; pertama berlaku adil terhadap mereka yang berbeda. Keadilan harus ditegakkan dengan tanpa melihat latar belakang keyakinan.

Kedua, berinteraksi dan mengajak dengan cara hikmah dan nasehat yang baik. Perilaku ini menjadi sangat penting dimiliki oleh umat beragama yang merasa dirinya sebagai pemilik kunci surga satu-satunya. Mereka yang merasa dirinya menjadi petunjuk bagi yang dianggap sesat. Padahal sudah cukup jelas Allah menegaskan “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (kepada) siapa yang dikehendaki-Nya. [QS. al-Baqarah: 272].

Orang intoleran sejatinya berlagak menjadi Tuhan yang seolah bisa memberikan petunjuk. Mereka menjadi penghukum di dunia yang seolah yang berbeda adalah sesat. Tuhan telah mengingatkan bagi diri kita untuk saling berinteraksi dengan baik dan sepenuhnya petunjuk berada di tangan Allah.

This post was last modified on 28 November 2022 12:34 AM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

5 jam ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

5 jam ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

5 jam ago

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

1 hari ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

1 hari ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

1 hari ago