Narasi

Darul Kufr dan Darul Islam; Indonesia Masuk yang Mana?

Yang perlu dimaklumi, dalam ketatanegaraan Islam ada dua istilah di mana keduanya memiliki pemahaman berbeda, namun substansinya sama. Yaitu, sistem khilafah dan sistem pemerintahan Islam. Secara bahasa keduanya memiliki makna yang berbeda, tetapi secara substantif bermuara pada satu tujuan. Oleh karena itu, menyebut sistem pemerintahan Islam sama saja menyebut sistem khilafah.

Pemerintahan Islam atau khilafah berorientasi pada terwujudnya syari’at Islam dan penyelenggaraan negara dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Pemimpinnya disebut khilafah yang secara bahasa bermakna penerus atau pengganti. Khilafah adalah penerus dan pengganti Nabi menjaga agama dan mengatur dunia. Sebagaimana ditulis al Mawardi dalam Ahkam al Sulthaniyah.

Pemerintahan Islam dibangun atas prinsip musawah (kesetaraan), ‘adalah (keadilan), syura (musyawarah), hurriyyah (kebebasan) dan riqabatu al ummah (pengawasan rakyat). Semua prinsip-prinsip di atas sesuai dengan amanah al Qur’an dan hadits Nabi.

Satu hal lagi, pemerintahan Islam atau khilafah idealnya hanya ada satu di belahan bumi ini, dipimpin oleh seorang khalifah dengan gelar amirul mukminin. Khalifah adalah penguasa tunggal di dunia yang menguasai seluruh wilayah yang dihuni umat Islam. Sehingga tujuan mewujudkan Islam yang kuat dan Umar Islam yang jaya lebih mudah terwujud.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mencatat, pemerintahan ideal seperti itu sempat terwujud, tetapi tidak berlangsung lama. Tidak lebih hanya tiga abad lamanya. Rentang waktu itu terhitung dari masa Rasulullah sampai tiga abad setelahnya. Setelah itu, Negara Islam terkotak menjadi beberapa negara. Seperti, berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah Kedua di Spanyol (317-423 H) dan Fatimiyah di Maroko (267-567 H), kemudian ibu kota dipindahkan ke Mesir pada tahun 372 H.

Karenanya, cita-cita mengembalikan sistem pemerintahan Islam yang sangat ideal itu bisa diperjuangkan, tapi sulit (untuk tidak mengatakan mustahil). Andaipun berkeinginan memperjuangkannya, wajib memperhatikan kondisi kekinian secara bijak dan penuh hikmah dengan pertimbangan “Mengambil yang lebih ringan diantara dua kemudharatan” dan “Penolakan terhadap kerusakan harus diprioritaskan dari pada memperoleh kemaslahatan”.

Sebagai contoh, ide mengganti sistem demokrasi di Indonesia dengan sistem khilafah berpotensi terjadinya dua kemudharatan, yaitu perpecahan dan peperangan. Maka, pertimbangan yang harus didahulukan adalah kemudharatan paling kecil, yakni tetap memakai sistem demokrasi sekalipun mengandung kemudharatan. Sebab mudharat yang tampak dalam sistem demokrasi pasti lebih kecil dari pada harus terjadi perpecahan dan pertumpahan darah. Disamping itu, demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara menurut Islam.

Pertimbangan berikutnya, dalam ketatanegaraan Islam, menyatunya negara khilafah tidak menjadi syarat sahnya negara. Karena yang paling esensial adalah terwujudnya maqashidus syari’ah. Artinya, sistem pemerintahan, apapun namanya, selama dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Islam seperti telah disebutkan di atas tetap sah menurut Islam.

Memahami Makna Darul Kufr dan Darul Islam

Indonesia, dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, dinyatakan sebagai bukan negara Islam (Daulah Islamiyyah). Pernyataan ini benar berdasarkan pada Negara Madinah sewaktu dipimpin Nabi juga tidak disebut Daulah Islamiyyah, sebab diselenggarakan berdasarkan ‘konstitusi Madinah’.

Sekalipun begitu, Indonesia disebut sebagai daerah Islam (Darul Islam). Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam. Rumusan itu dituangkan dalam “Piagam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Disitu dinyatakan, Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam. Sebelumnya, dalam Muktamar NU ke-XI di Banjarmasin tahun 1936 ditegaskan, Indonesia adalah Darul Islam.

Keputusan bahwa Indonesia masuk dalam kategori Darul Islam berdasar pada pernyataan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad dalam Bughyah al Mustarsyidin. Disini, tegas dinyatakan, bahwa setiap wilayah yang dihuni kaum muslimin serta terlepas dari dominasi kaum harbi (musuh) pada suatu masa tertentu, dengan sendirinya menjadi Darul Islam yang berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum saat itu. Toh, sekalipun ada potensi suatu saat mereka tidak mampu mempertahankan diri dari dominasi kaum kafir yang mengusir dan tidak membolehkan mereka masuk kembali.

Karenanya, lanjut Sayyid Abdurrahman, penyebutan wilayah itu sebagai Darul Harbi (negara perang) hanya formalitas belaka, bukan status yang sebenarnya. Maka, telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa Bumi Betawi dan sebagian besar Tanah Jawa adalah Darul Islam karena terlebih dahulu dikuasai kaum muslimin.

Pendefinisian yang sama ditulis oleh Sulaiman bin Umar dalam Hasyiyah al Jumal. Sesungguhnya, setiap wilayah dimana penduduknya mampu mempertahankan diri dari musuh-musuhnya dapat dikategorikan sebagai Darul Islam.

Sementara menurut Muhammad bin Abul Abbas al Ramli, masyhur dengan sebutan Imam Ramli, dalam kitabnya Nihayah al Muhtaj ila Syarhi al Minhaj, Darul Islam adalah wilayah yang ada dalam genggaman umat Islam, sekalipun Ahlu Dzimmah dan Ahlu ‘Ahd berdomisili di daerah itu.

Sampai disini telah cukup jelas untuk menjawab pertanyaan: Darul Kufr dan Darul Islam, Indonesia termasuk yang Mana?. Kalau masih ngotot mengatakan Indonesia bukan Darul Islam sebab tidak memakai al Qur’an dan hadits sebagai undang-undang formal negara, jawabannya, Negara Madinah sewaktu dipimpin oleh Rasulullah diselenggarakan berdasarkan ‘Konstitusi Madinah’, bukan al Qur’an.

Lalu, pertanyaan apalagi yang hendak diajukan? Akan lebih baik menghargai nilai-nilai Pancasila dan menguatkan demokrasi di negeri sendiri. Tidak perlu mempersoalkan Pancasila karena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam. Ide penegakan khilafah justru sebagai upaya memindahkan tragedi di Yaman, Suriah dan beberapa negara Timur Tengah ke Indonesia, dimana negara-negara tersebut  porak poranda akibat ambisi penegakan khilafah. Bukan maslahah yang diraih, justru membuat mudharat besar yang dampaknya adalah kesengsaraan rakyat.

Selain itu, dua tujuan pokok berdirinya sebuah negara menurut Islam, yakni menjaga agama dan mengatur kehidupan manusia menjadi lebih baik telah terwujud di Indonesia. Sekalipun ada kekurangan, tentu solusinya bukan soal khilafah atau demokrasi, melainkan integritas moral dari seluruh elemen bangsa. Sebab, kalau berbicara problem krusial yang kerap mewarnai perjalanan bangsa tidak hanya dijumpai dalam sebuah negara dengan sistem pemerintahan demokrasi, tetapi dalam sistem pemerintahan khilafah pun problematika yang sama juga terjadi.

This post was last modified on 14 April 2023 3:19 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago