Kebangsaan

Dile Jojor: Tradisi Menyalakan Obor Kerukunan Warga Lombok Barat

Ramadhan akan berakhir beberapa hari lagi. Di 10 hari terakhir Bulan Ramadhan, umat Muslim di Lombok Barat sedang sibuk merayakan tradisi Maleman. Tradisi ini biasanya dirayakan pada tanggal 21 hingga 30 Ramadhan dengan menyalakan lampu jojor.

Bagi masyarakat Lombok, Dile (lampu) jojor adalah lampu tradisional yang biasa dibuat dari buah pohon jamplong atau jarak yang dicampur dengan kapas. Tradisi ini dilakukan masyarakat Lombok untuk menyambut malam Lailatul Qadar.

Tradisi Dile Jojor dimulai dengan membawa dulang berisi nasi dan lauk pauk ke masjid untuk berbuka puasa bersama tokoh agama dan masyarakat. Setelah ibadah sholat Maghrib selesai, barulah Dile Jojor dinyalakan, menerangi dusun yang semula gelap dengan sinar dari nyala api tersebut.

Selain memiliki fungsi budaya, Dile Jojor juga memiliki peran penting sebagai penerang bagi orang-orang yang akan mengantarkan zakat fitrah. Di masa lampau, sebelum listrik tiba di negeri seribu masjid ini, pembayar zakat akan menantikan Dile Jojor dinyalakan sebagai tanda bahwa waktu untuk mengantarkan zakat telah tiba.

Esensi Kerukunan dan Persaudaraan dalam Tradisi

Tradisi Dile Jojor tak hanya sekedar ritual, tapi juga sebuah peristiwa yang mengalirkan kehangatan persaudaraan di tengah-tengah masyarakat desa. Saat nyala api Dile Jojor menyala, suasana hati yang teduh dan ceria memenuhi setiap sudut dusun. Di sinilah cerita-cerita masa lalu dan harapan-harapan masa depan saling berbagi, mengikatkan hati-hati yang sebelumnya mungkin terpisah oleh kesibukan sehari-hari. Ketika tokoh agama turut hadir, momen ini tidak hanya menjadi kesempatan untuk bersama-sama beribadah, tetapi juga untuk memperdalam hubungan spiritual dan sosial, menguatkan keterikatan antara para jamaah dan pemuka agama.

Namun, kehangatan Dile Jojor tidak hanya dirasakan oleh penduduk desa sendiri. Para tetangga dan kerabat yang datang berkunjung juga turut merasakan atmosfer yang penuh keakraban dan kebersamaan. Mereka bergabung dalam lingkaran kehangatan, bertukar cerita, dan mempererat ikatan yang melintasi batas-batas geografis dan keluarga. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya memperkuat persaudaraan lokal, tetapi juga memperluas jaringan sosial ke level yang lebih luas.

Dalam aliran keramaian dan keakraban, esensi dari tradisi Dile Jojor adalah menyatukan hati-hati yang berbeda menjadi satu, merajut jalinan kerukunan yang kokoh di tengah pluralitas masyarakat. Momen berharga ini bukan hanya tentang menghormati tradisi lama, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kuat bagi masa depan yang penuh dengan toleransi, pengertian, dan kerjasama. Sehingga, setiap kali Dile Jojor dinyalakan, bukan hanya api yang memancarkan cahaya, tetapi juga semangat kebersamaan yang menyala dalam hati setiap individu yang hadir.

Di balik sorotan cahaya Dile Jojor, terdapat cerminan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan saling menghormati antar anggota masyarakat. Dengan merawat dan menjaga tradisi ini, bukan hanya memperkuat ikatan sosial di tingkat lokal, tetapi juga menunjukkan kepada generasi mendatang pentingnya menghargai warisan budaya dan menggali kekayaan dari keragaman yang ada dalam masyarakat. Melalui kehangatan dan kerukunan yang tercipta di sekitar Dile Jojor, sebuah desa tidak sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi menjadi rumah bagi jiwa-jiwa yang saling menyokong dan menguatkan.

Merawat Tradisi Dile Jojor

Merawat tradisi Dile Jojor bukanlah sekadar menjaga warisan budaya belaka; melainkan menyelami nilai-nilai kebersamaan dan kearifan lokal yang turut membentuk karakter sebuah komunitas. Generasi sekarang memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan tradisi ini, tidak hanya sebagai tugas mempertahankan akar kebudayaan yang telah terpatri dalam sejarah, tetapi juga sebagai upaya untuk memperkokoh identitas dan hubungan antargenerasi. Melibatkan generasi muda dalam setiap tahap tradisi ini adalah cara yang efektif untuk mengajarkan mereka tentang nilai-nilai tradisional, menjalin keterikatan yang erat antara sesama anggota masyarakat, dan memperkuat ikatan dengan lingkungan serta alam sekitar.

Melalui pemeliharaan tradisi ini, generasi sekarang dapat belajar tentang praktik-praktik tradisional yang terkait dengan lingkungan dan sumber daya alam, seperti penggunaan kayu bakar untuk menyalakan api. Dengan demikian, mereka tidak hanya menghormati warisan budaya, tetapi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam dan lingkungan sekitar.

Dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat, tanpa memandang usia atau latar belakang, tradisi ini menjadi simbol persatuan dan kebersamaan. Generasi sekarang dapat menggunakan momen-momen seperti ini untuk memperkuat hubungan sosial, meningkatkan rasa kebersamaan, dan membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan yang harmonis dan sejahtera bagi seluruh komunitas.

Nur Faizi

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

8 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

9 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

10 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

10 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago