Narasi

Egalitarianisme Puasa

“Elite kafir Quraish tidak masuk Islam bukan karena tidak suka dengan ajaran Islam, melainkan takut akan konsekuensi dari ajaran Islam itu sendiri.” Demikian kurang lebih statemen Fazlur Rahman dalam bukunya yang sudah klasik (Islam:1966). Konsekuensi itu adalah kesetaraan.

Sejak dini, salah satu tujuan pokok Islam adalah kesetaraan. Terutama kesetaraan (baca: keadilan) sosial. Semua rukun Islam mengandung prinsip ini. Bahkan kata Rahman, jauh sebelum Islam melarang riba, yang pertama diperintahkan adalah berinfak demi terjadinya kemerataan ekonomi. 

Bagi elite Quraish, egalitarianisme ajaran Islam itu menghancurkan hierarki kesukuan, ekonomi, dan kelas sosial mereka. Tidak ada lagi bedanya tuan dan budak, kaya dan miskin, pemodal, dan peminjam, laki dan perempuan, suku A dengan suku B. Semuanya sama. Yang membedakannya adalah ketakwaan. Ini tentu sangat berbahaya.

Ketaqwaan adalah simbol kesetaraan. Orang tidak lagi diukur berdasarkan ras, suku, warna kulit, kekayaan, jenis kelamin. Yang jadi ukuran seberapa jauh kualitas kesadaran dia dengan Tuhan (al-taqwa) dan seberapa jauh kemanfaatannya kepada orang lain (al-manfaah). 

Salah satu sarana memupuk ketaqwaan itu adalah puasa. Puasa diwajibkan kepada manusia, agar manusia bisa naik kelas dari kelas kaum beriman (kesadaran diri akan Tuhan saja) menjadi kelas kaum bertakwa (selain kesadaran akan Tuhan juga bermanfaat kepada manusia).

Baca Juga : Puasa, Multiplisitas, dan Sesama

Dalam puasa sekat-sekat primordialisme itu diruntuhkan. Si kaya atau si miskin, laki atau perempuan, pokoknya asalkan dia manusia yang akil-balig, maka wajib puasa. Semua manusia sama-sama merasakan lapar dan haus.

Siapa pun orangnya, kalau sudah masuk waktu imsak, semua wajib menahan lapar. Sebelum azan magrib berkumandang makanan tidak boleh disentuh. Puasa adalah latihan agar manusia bisa merasakan penderitaan yang dirasakan orang lain.

Puasa dalam hal ini telah menggeser solidaritas kesukuan bangsa Arab menuju solidaritas universal. Dari humanisme kesukuan yang sempit dan kaku, menuju humanisme universal yang bisa mengakomodasi siapa pun.

Sebab tujuan akhir puasa adalah ketakwaan (kesalehan sosial), maka kesetaraan itu harus dibunyikan. Cara membunyikannya lewat sarana-sarana yang bisa mengikis ketimpangan sosial; menghilangkan kesenjangan ekonomi.

Seperti ungkapan di atas, kesadaran diri akan Tuhan saja itu belum disebut bertakwa, melainkan harus bisa pro-aktif memberikan manfaat kepada orang lain. Memberi manfaat kepada orang lain adalah cara terbaik mengikis kesenjangan sosial itu.

 Sejak dulu Nabi sudah menyatakan, tidak sempurna iman kamu, sebelum dirimu bisa mencintai orang lain laiknya kamu mencintai dirimu sendiri.

Puasa adalah ibadah yang menggabungkan keduanya. Puasa harus lebih membuat diri kita lebih memanusiakan manusia, mau saling memberi, tulus dalam kerja-kerja yang meningkatkan daya tahan sosial. serta, serta ikut berpartisipasi memperkecil jarang kesenjangan ekonomi.

Terutama dalam situasi sekarang ini, ketika dunia dalam pertempuran melawan virus berbahaya, korona. Kepekaan sosial serta solidaritas global harus dibangun. Semua kita sama-sama mempunyai musuh yang sama. Kita buang ego sektoral kita. Arogansi harus ditanggalkan. Batas-batas negara jangan dijadikan sebagai pembatas untuk kita saling bekerja sama.

Puasa adalah salah satu terbaik untuk memupuk solidaritas global itu. Kita semua dalam satu komando dan satu tujuan sekarang. Kita berupaya untuk bebas dari pandemi yang mematikan. Mari kita bergandengan tangan, saling memperkuat.

Kini saatnya –berkat puasa –saling mendukung. Puasa yang mengajarkan persamaan: suku, budaya, tradisi, kelas sosial, harus melawan musuh yang sama juga: pandemi korona. Gabungan  kesadaran diri dalam bertuhan dengan kemanfaatan kepada sesama adalah modal sosial dalam melawan korona. Puasa hanya sarana. Tujuan utamanya adalah ketakwaan. Ketakwaan merupakan simbol persamaan. Persamaan adalah kunci utama dalam melawan musuh yang sama pula, yakni korona.

This post was last modified on 5 Mei 2020 3:09 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

15 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

15 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

15 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago