Categories: Peradaban

Ekstrimisme Bukan Islam

Al Gulwu Wa Al Tatharruf  ( التطرف والغلو) dalam bahasa Arab adalah dua kata serupa yang bermakna ‘berlebihan’ atau ‘melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam’. Peradaban Islam pada awalnya hanya mengenal kata Al Gulwu sementara istilah At Tatharruf  baru dikenal belakangan, khususnya setelah dipopulerkan oleh para akademisi dan pengamat Barat. Kini istilah At Tatharruf dominan dipergunakan dalam kamus politik dan sosial Arab kontemporer.

Sedari awal, Nabi Muhammad saw telah mengingatkan para sahabat agar tidak terjebak melakukan tindakan dan aksi di luar batas kewajaran (ekstrimisme). Nabi memandang sikap ekstrimisme dapat memberi dampak negatif terhadap diri seseorang dan juga kepada orang di sekitarnya. Seseorang misalkan, bisa saja meninggalkan kewajiban keluarga lantaran terlalu ekstrim dalam beribadah, seperti yang pernah terjadi di masa Nabi.

Dalam sejumlah kesempatan Alquran dan Hadits secara tegas pernah mengisyaratkan larangan ekstrim dalam memahami kitab suci dan menjalankan ajaran agama, sebagaimana berikut:

قوله سبحانه: ﴿قُلْ يَا أَهْلَ الكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الحَقِّ﴾ المائدة: 77.

Katakanlah wahai Muhammad kepada para Ahlul Kitab agar tidak berlebihan dalam agamanya apalagi terhadap hal-hal yang tidak benar.” (QS. Al Maidah: 77).

في قوله سبحانه: ﴿وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي﴾ طه: 81

Dan janganlah kalian terlalu berlebihan atau angkuh karena sesugguhnya amarahku akan menimpa kalian.” (QS. Thaha: 81).

قول النبي صلى الله عليه وسلم: «إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ»

Waspadailah ekstrimisme dalam beragama! Karena sesungguhnya yang menghancurkan umat sebelum kalian karena terlalu ekstrim dalam agama.” (Al Hadits).

قال النبي – صلى الله عليه وسلم – لعبد الله بن عمرو بن العاص: صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.

والمراد من ذلك: أي أعطِ كل ذي حق حقه، ولا تغلُ في ناحية على حساب الأخرى.

Rasulullah Saw mengatakan kepada Abdullah Bin ‘Amr bin Al ‘Ash:puasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah, karena sungguh badan kalian memiliki hak, mata kalian juga memiliki hak, dan istri kalian juga memiliki hak’. Maksudnya setiap sesuatu memiliki hak maka berikanlah haknya masing-masing.” (Al Hadits).

Jelaslah sudah, bahwa bersikap ekstrim –meski atas dasar peningkatan ibadah- tidaklah dibenarkan oleh Islam. Argumentasi agama di atas menekankan pentingnya bersikap moderat dalam memahami dan menjalankan syariat Islam. Sikap moderat dan jalan tengah inilah yang menjadi ciri utama Islam dan berulangkali diajarkan oleh Rasulullah.

Di masa awal Islam, tercatat sejumlah kelompok terjebak pada ekstrimisme, yang saling berbenturan antara satu dengan lainnya. Ekstrimisme yang berkembang di abad pertama Islam ini menjadi catatan hitam lantaran banyak darah yang dikorbankan. Pembunuhan khalifah Usman, Ali, dan cucu Nabi (Hasan dan Husein) berlatar kepentingan politik dengan wajah ekstrimisme agama.

Saat itu, umat Islam untuk pertama kalinya terkotak-kotak dalam ragam pemahaman keagamaan. Mereka yang ekstrim, bukan saja menyalahkan pihak lainnya bahkan hingga mengkafirkan. Kelompok-kelompok yang ekstrim di masa itu membentuk pemikiran dan konstruksi akidah dan keyakinan keagamaan masing-masing yang saling berbeda. Dengan demikian, fenomena takfiri hingga keputusan ‘penghalalan’ darah mereka yang tidak sepaham tak bisa dihindari.

Sejarah ekstrimisme tak berhenti di situ, perkembangan kelompok ini pada gilirannya tidak semata berkutat pada ranah teologi dan keyakinan akidah keagamaan saja. Ekstrimisme menjalar pada syariat Islam. Bentuknya secara nyata dapat terlihat dari penambahan beban kewajiban syariat dari semestinya. Seperti penghalalan atau pengharaman sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam kitab suci.

Ekstrimisme syariat berujung pada paksaan dalam menjalankan kewajiban agama. Ironisnya, paksaan itu dilakukan oleh kelompok yang tidak memiliki wilayatul hisbah (kewenangan hukum). Yang terjadi kemudian bukannya penegakan syariat melainkan kerusakan dan kekonyolan sosial. Padahal, kaidah hukum Islam mengingatkan bahwa menghindari dampak buruk (mafsadat) harus didahulukan ketimbang mendatangkan dampak baik (maslahat). Karena itu, hati-hati pada ekstrimisme! Semoga Allah menghindarkan kita dari bahaya dan fitnah ekstrimisme!

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Share
Published by
Suaib Tahir

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago