Keagamaan

Etika Demokrasi Berkeadilan Berdasarkan Al-Qur’an

Demokrasi tidak jauh dari Islam. Di dalam Al-Qur’an, dia adalah sebentuk kata lain (derivasi) dari tradisi musyawarah dalam membangun tatanan sosial-kebangsaan secara bersama. Jadi, perhelatan demokrasi dalam konteks pemilu, itu bukan jalan legitimasi bagi kita untuk terpisah dan saling berpecah-belah meskipun berbeda secara sikap/pilihan politik

Menariknya, Al-Qur’an mengajak kita untuk memiliki etika di dalam demokrasi, yaitu etika demokrasi berkeadilan. Tujuannya apa? Demi menguatkan (kesadaran politik) kita yang lebih beradab. Serta tidak menyebabkan disharmoni sosial yang bisa merusak keseimbangan tatanan sosial yang harmonis di Indonesia.

Dalam kancah persaingan politik, etika demokrasi berkeadilan cenderung mementingkan paradigma keseimbangan tadi. Dalam arti pemahaman, kita memiliki tujuan yang sama dalam memilih pemimpin bangsa. Maka, hindari intrik politik yang gemar menjatuhkan, menghina apalagi mencaci-maki dan sentiment politik beragama.  

Jadi, Saya kurang sepakat, jika perhelatan demokrasi kita cenderung gemar dinodai oleh aktivitas saling mencari kesalahan pihak masing-masing, lalu saling menjatuhkan serta saling hina. Inilah yang menjadi penyebab disharmoni dalam setiap perhelatan demokrasi. Sebab, kritikan secara seimbang argumentatif itu perlu dan sampaikan secara santun, bukan ingin merendahkan secara personal.

Argument di atas, ditegaskan ke dalam potongan (Qs. Al-Ma’idah:8) bahwasanya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak adil”.

Cobalah pahami potongan (Qs. Shaad:26). “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT”.

Secara kontekstual, prinsip membuat keputusan yang adil dan tidak mengikuti hawa nafsu adalah sikap politik etis kita dalam perhelatan demokrasi. Artinya, keputusan itu bisa bersifat apa yang kita sampaikan di sosial media. Baik berupa pandangan terhadap calon yang kita pilih atau lawan yang menjadi saingan politik dalam pemilihan pemimpin yang adil dan tidak berdasar pada hawa nafsu kebencian.

Prinsip ber-keadilan yang tidak didasari hawa nafsu berarti kita tidak melakukan tindakan di luar koridor asas tujuan (musyawarah) itu. Dalam prinsipnya, semua harus seimbang dalam tujuan (memilih pemimpin) yang terbaik demi masa depan bangsa. Jadi, asas yang dibangun kita sama-sama adil dalam persaingan tidak menaruh ketimpangan sosial seperti bertindak arogan, membakar api konflik atau saling menghina.

Dalam prinsip demokrasi/musyawarah pemilihan pemimpin. Kita berhak menyampaikan sikap pilihan, kita memiliki alasan yang argumentatif, kritis dan analitis di dalamnya. Kita juga berhak menyampaikan kritikan atau argument terhadap sosok yang menjadi lawan kita secara politik.

Al-Qur’an selalu meminta untuk harus bersifat objektif dan jangan menjadi pengikut buta. Misalnya, kita jangan terjebak ke dalam klaim politik identitas membawa nama-nama agama. Lalu yang lain dianggap tidak sesuai ajaran agama misalnya.  Jadi, etika demokrasi berkeadilan itu akan membuat kita menjadikan standar politik yang jujur, tidak merendahkan, tidak menjatuhkan apalagi menghina.

Prinsip di atas kuatkan dalam (Qs. An-Nisa:58) “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. Bahwa, (menetapkan hukum) berarti membuat semacam keputusan politik yang (seimbang) sesuai prinsip etis tujuan dari politik dalam demokrasi adalah sama-sama berikhtiar memilih sosok pemimpin yang layak untuk negeri ini.

Dalam etika demokrasi yang berkeadilan akan membawa kesadaran umat manusia yang beradab. Sebab, kemudharatan dalam demokrasi kerap terjebak ke dalam hoax atau fitnah-adu-domba. Ini dipengaruhi oleh keteledoran kita mengikuti sesuatu yang kita tidak mengetahuinya. Sebagaimana, ditegaskan dalam (Qs. Al-Isra’:36) “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.

This post was last modified on 15 Januari 2024 3:14 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

59 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago