Narasi

Etika Mengkritik Menurut Ibnu Taimiyah

Dalam kehidupan sosial, memberikan kritik adalah hal yang wajar. Islam memberikan kesempatan untuk siapa saja untuk saling menasehati, dan dianggap sebagai kebaikan (Al Asr: 3). Namun kritikan tersebut bisa bernilai positif jika dilakukan sesuai etika. Salah satu ulama yang menggariskan etika kritik adalah Ibnu Taimiyah. Dialah sosok pembaharu yang lahir di masa penuh gejolak dan terus menginspirasi hingga sekarang. 

Pater Salim dan Yeni Salim (1991) mengartikan kritik sebagai masalah yang didapatkan dari proses analisa dan evaluasi yang disampaikan dengan tujuan peningkatan pemahaman, memperluas apresiasi, dan membantu dalam perbaikan pemerintahan. Sejalan dengan itu, Ibnu Taimiyah menggariskan jika politik dan agama harus berjalan berbarengan. Maka keduanya harus saling mempengaruhi, termasuk kebijakan dan gagasan untuk pembangunan ke depan.

Dengan begitu, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, kritikan harus disampaikan untuk menggapai pembangunan. Meskipun begitu, kritikan yang disampaikan harus sesuai dengan koridor yang sudah ada. Sehingga orang yang di kritik tidak merasa kesal dan marah atas kritikan yang diberikan. Dalam kitab al-Fatwa, Ibnu Taimiyah memberikan 3 pijakan dasar yang harus digunakan setiap orang dalam mengajukan kritikan.

Pertama, kritikan yang disampaikan harus dilandasi dengan niat memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah, bukan dengan niat mengunggulkan diri sendiri dan mencari titik lemah orang lain. Kedua, kritikan harus didasari dengan ilmu. Dengan begitu, penyampai kritik harus mempunyai ilmu yang matang sebelum meluncurkan kritikan. Hal ini ditujukan agar si pengkritik tidak hanya memberikan kritikan, namun juga solusi atas masalah yang dijadikan kritikan.

Ketiga, kritikan disampaikan dengan lemah lembut. Bersikap lemah lembut adalah dasar dari mengkritik. Apalagi yang dikiritik adalah orang yang memiliki gelar tinggi dan pengikut yang banyak. Maka kelembutan akan mempengaruhi penerimaan terhadap kritikan. Semakin terstruktur dan lembut bahasa yang digunakan, maka semakin lega seseorang menerima kritikan.

Pada prakteknya, Ibnu Taimiyah mencontohkan cara mengkritik yang benar. Misalnya kritikan yang dilemparkan kepada Ibnu Rusyd melalui Kitab Kasyf ‘an Manahij al-Adillah (Penyingkapan berbagai metode pembuktian), dimana Ibnu Rusyd tidak memasukkan orang-orang terdahulu dalam kelompok teologis. Kemudian dalam kitab Naqdl al Mantiq, dia mengkritik dengan mengatakan bahwa al Ghazalilah orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq sebagai penyempurna ilmu-ilmu Islam.

Dalam setiap kritiknya, beliau selalu mendasarkan pada kedalaman ilmu. Bahkan tak jarang beliau mengutip pendapat ulama-ulama ternama untuk memperkuat kritiknya. Kemudian dituliskan dalam sebuah kitab dengan tata bahasa Arab yang terstruktur. Dengan begitu, kritikan akan lebih mudah dipahami dan diterima. Apabila ada kesalahan dalam kritikan, beliau juga siap menerima bantahan.

Lanjut dalam kitab al Fatwa, Ibnu Taimiyah menegaskan jika seseorang yang mengajak pada kebenaran, maka ia juga mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, tanpa adanya pengurangan pahala dari mereka. Dari sini dapat kita lihat bagaimana pentingnya kritik menurut Ibnu Taimiyah. Bahkan dalam sejarah Islam, beliau merupakan pengkritik ulung yang ditakuti penguasa. Kritikannya begitu tajam menyoroti kemajuan suatu negara. Namun sayang, ada beberapa penguasa yang tidak begitu responsif terhadap kritikan. Mereka langsung menindak tegas dengan hukuman, bukan membalas dengan pembuktian.              

Oleh karena itu, selain seni mengkritik yang harus dipelajari, seni untuk menerima dan menyikapi kritikan juga harus dikuasai. Karena dengan begitu, kritikan yang diberikan akan tepat sasaran. Begitupula dengan tujuan perbaikan, akan tercipta jika kritikan dijadikan langkah awal membangun komunikasi yang memajukan untuk masa depan. Karena begitulah fungsi manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Saling mempengaruhi dan menasehati dalam kebaikan.

This post was last modified on 18 Juni 2021 1:45 PM

Nur Faizi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago