Narasi

Etnografi Maulid; Ragam Ekspresi Cinta Rasul ala Islam Nusantara

Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi merayakan maulid Nabi Muhammad. Di Yogyakarta, ada tradisi Grebeg Maulud. Di Aceh ada tradisi Maulod, yakni kenduri besar. Di Sumatera Barat, maulid diperingati dengan acara Bungo Lado. Yakni tradisi berbagai sedekah dengan pohon yang. 

Di Bali ada tradisi Bale Suji yakni mengarak hiasan sesaji yang disusun dari telor. Telor di sini menyimbolkan kelahiran. Sedangkan di Sulawesi Selatan ada tradisi Kars Rammang-Rammang, yakni mengarak sesaji makanan dengan perahu di sepanjang sungai. Dan tentunya masih banyak lagi tradisi perayaan maulid Nabi Muhammad yang khas di daerah-daerah di Indonesia. 

Jika diamati, berbagai perayaan maulid Nabi di sejumlah daerah itu memiliki sejumlah persamaan. Antara lain pertama tradisi itu merupakan akulturasi budaya antara Islam dan lokalitas Nusantara. Perayaan maulid Rasulullah yang kental dengan nuansa budaya lokal Nusantara adalah kekhasan yang tidak ada di negara lain.

Kedua, meski beberapa simbol dan praktik, namun pada dasarnya semua kegiatan merayakan maulid di sejumlah daerah itu memiliki inti yang sama; yakni menunjukkan rasa syukur dan berbagi pada sesama. Ketiga, peringatan maulid nabi yang kental dengan nuasan lokalitas itu merupakan ekspresi cinta dan rindu umat Islam kepada Nabi Muhammad.

Sayangnya, masih ada segelintir kalangan yang menganggap tradisi maulid, apalagi yang bernuansa kearifan lokal itu sebagai bidah, musyrik, bahkan kafir. Benarkah demikian? Anggapan bahwa maulid nabi apalagi yang dipengaruhi oleh tradisi lokal adalah bidah dan sesat jelas merupakan produk pemikiran kaum konservatif. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran adalah teks.

Ketika Alqura dan hadist tidak memuat perintah merayakan maulid, maka mereka menafsirkan bahwa maulid adalah hal terlarang alias haram. Padahal, logikanya tidak demikian. Dalam kaidah fiqih, sesuatu yang tidak ada perintah dan larangan tidak serta merta haram, namun bisa juga mubah alias boleh. Dalam konteks  maulid, mayoritas ulama moderat memperbolehkannya (mubah).

Menyelami Makna Ritual Maulid di Nusantara

Kaum konservatif juga cenderung hanya melihat fenomena maulid dari permukaan saja. Tanpa menyelami lebih dalam apa makna di balik semua ritual dan simbol tersebut. Padahal, sejatinya setiap unsur simbolik dari perayaan maulid yang berakulturasi dengan kearifan lokal itu menyimpan beragam makna yang sesuai ajaran Islam. 

Misalnya saja, grebeg maulud di Keraton Yogyakarta yang selalu menampilkan gunungan dari hasil alam. Gunungan, dalam filosofi Jawa itu menggambarkan aspek transendentalitas hubungan antara manusia dan penciptanya.

Sedangkan hasil bumi yang menjadi bahan utama gunungan menggambarkan rasa syukur atas limpahan karunia dan rahmat Allah. Bukankah hubungan manusia dengan Allah dan rasa syukur atas nikmat-nya itu merupakan ajaran Islam? Lantas, mengapa tradisi maulid yang sarat budaya lokal kerap dituding bidah bahkan sesat?

Disinilah pentingnya pendekatan etnografi dalam memahami ritual maulid nabi di berbagai wilayah di Indonesia. Pendekatan etnografi mengajak kita untuk menyelami makna sebuah fenomena dengan ikut terlibat di dalamnya, mengobservasi, namun tanpa menghakimi apalagi menghina.

Pendekatan etnografi mengajak kita untuk bersimpati atas apa yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain. Ketidaksetujuan kita atas sebuah fenomena tidak lantas harus ditunjukkan dengan sikap menghina atau merendahkan. 

Memahami maulid nabi secara etnografis penting untuk meredam nalar konservatif yang menempatkan agama dan kearifan lokal sebagai dua hal yang berlawanan. Agama hadir tidak untuk menghapus budaya lokal yang sebelumnya telah eksis. Sebaliknya, kearifan lokal sama sekali tidak memiliki tendensi untuk merusak kesucian agama. Keduanya justru bisa saling memperkaya melalui proses akulturasi atau pun inkulturasi. 

Dalam konteks maulid nabi, beragam ritual yang digelar oleh kaum muslim Indonesia sejatinya adalah wujud cinta kepada Rasulullah. Bahasa cinta memang kerapkali harus diungkapkan atau diekspresikan ke dalam praktik yang boleh jadi tidak terakomodasi dalam teks-teks formal. Lagipula, ekspresi cinta pada Rasulullah memang tidak butuh dasar dan referensi tekstual.

Berbagai ritual maulid Nabi Muhammad yang digelar di berbagai daerah di Indonesia justru memperkaya khazanah keislaman itu sendiri. Kekayaan khazanah itu sekaligus membuktikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan toleran. Agama yang mampu menjadi rahmat bagi seluruh semesta alam (rahmatan lil alamin).

This post was last modified on 27 September 2023 1:31 PM

Nurrochman

Recent Posts

Tiga Nilai Maulid ala Nusantara; Religiusitas, Kreativitas, Solidaritas

Menurut catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir pada…

19 jam ago

Muhammad dan Kehidupan

Konon, al-Ghazali adalah salah satu ulama yang memandang sosok Muhammad dengan dua perspektif, sebagai sosok…

21 jam ago

Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi adalah sebuah komitmen yang jauh melampaui sekadar tampilan fisik. Sayangnya, sebagian kelompok sering…

21 jam ago

Warisan Toleransi Nabi SAW; Dari Tanah Suci ke Bumi NKRI

Toleransi beragama adalah energi lembut yang dapat menyatukan perbedaan. Itulah kiranya, salah satu ajaran mulia…

2 hari ago

Walima, Tradisi Maulid ala Masyarakat Gorontalo yang Mempersatukan

Walima, dalam konteks tradisi Maulid Nabi, adalah salah satu momen yang sangat dinanti dan dihormati…

2 hari ago

Darul Mitsaq; Legacy Rasulullah yang Diadaptasi ke Nusantara

Salah satu fase atau bagian paling menarik dalam keseluruhan kisah hidup Rasulullah adalah sepak terjang…

2 hari ago