Tahun 2017 yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial dengan tegas telah memberikan peringatan kepada para pengguna media sosial, terutama bagi yang beragama Islam, meski secara umum substansi dari fatwa tersebut bisa digunakan oleh para netizen tanpa memandang basic agama, untuk lebih berhati-hati dalam memberikan statement di akun atau laman media sosialnya. Fatwa MUI ini secara eksplisit menghukumi “haram” bagi para netizen yang statemennya di media sosial mengarah pada ghibah (membicarakan keburukan orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan atas dasar sentimen suku, agama, ras, atau antar golongan. Lebih jauh fatwa ini juga mengharamkan, materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang bertentangan dengan kententuan syar’i (syariat).
Keberadaan Fatwa MUI ini tentunya patut diapresiasi sebagai bentuk keseriusan MUI untuk menjaga stabilitas negara dan marwah bangsa, sehingga isu disintegrasi tidak terkonstruksi sebagai bagian dari wacana destruktif dalam nalar ke-Indonesia-an kita. Kohesi sosial masyarakat adalah keniscayaan yang dibutuhkan sebagai prasyarat tegaknya prinsip kebhinnekaan, sehingga jika pemahaman kolektif atas kohesi sosial ini rapuh maka yang terjadi adalah penghakiman, labelisasi, dan tudingan-tudingan sepihak yang mengarah pada pembenaran oleh kelompok tertentu atas kelompok yang lain. Padahal pokok persoalannya bukanlah pada ranah yang mutlak untuk tidak diperdebatkan, akan tetapi pada asumsi atau cara pandang yang berlainan.
Dikeluarkannya Fatwa MUI ini sudah tentu tidak berada di ruang kosong, dalam artian ada alasan yang sangat fundamental bagi MUI untuk segera mengeluarkan fatwa sehingga diharapkan tidak muncul konflik sosial yang tidak berkesudahan. Salah satu point of interest atas fatwa tersebut yakni selama ini, kalau boleh dibilang paska kontestasi politik Pemilihan Umum Langsung Kepala Negara (Presiden) dan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama, publik semakin tersegmentasi ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan dalam memandang masalah. Pro-kontra adalah keniscayaan dalam pandangan, namun jika sudah sampai pada ujaran kebencian dan pembunuhan karakter maka perdebatan seperti ini bisa dikatakan tidak sehat, karena hilir pemikirannya adalah klaim pembenaran atas pemikiran pihak lain.
Adapun pertanyaan kritis terkait dikeluarkannya fatwa ini adalah, seberapa efektifnya Fatwa MUI ini memberikan pengaruh bagi publik, utamanya para netizen untuk menghindari ujaran-ujaran kebencian, ghibah, dan pernyataan yang mengadu domba. Secara normatif, bagi umat Islam seharusnya fatwa ini mampu menjadi peringatan untuk tidak melanggar nilai-nilai religiusitas yang terkonfirmasi secara mendasar dalam Al-Qur’an maupun Al Hadist. Artinya, perilaku bermedia sosial harus memperhatikan kaidah-kaidah dalam bermuamalah, jangan sampai pakem muamalah tersebut dilanggar sehingga memberi dampak negatif bagi dirinya maupun pihak lain yang berinteraksi dengannya. Adapun, jika melihat lebih dalam faktor efektifitas dari fatwa tersebut, maka salah satu premis yang bisa ditawarkan adalah pada aspek kedewasaan sosial publik untuk secara cerdas mengelola media sosialnya. Pertanyaan berikutnya, sudahkah publik memiliki cukup kedewasaan untuk menggunakan secara cerdas media sosialnya ? jawabannya tentu tidak semua, bahkan sangat dimungkinkan sebagian besar netizen belum mampu menggunakan secara dewasa dan cerdas dalam mengakses media sosial.
Pada aspek ini maka jelas, bahwa keberadaan Fatwa MUI hanya akan dianggap sebagai aspek formalitas kelembagaan atas sebuah lembaga yang bernama MUI sebagai salah satu lembaga keagamaan (Islam) yang memang memiliki kewajiban untuk mengeluarkan fatwa. Jika publik hanya menangkap pada logika tersebut anscih, maka yang terjadi sudah bisa diprediksi yakni formalisasi fatwa tanpa mampu menangkap pesan dengan baik. Realitas sosial ini bisa dibuktikan dengan melihat pola perilaku para netizen dalam setiap statemennya di media sosial, apakah akan mengalami perubahan atau tidak sama sekali. Karena bukan tidak mungkin, adanya ghibah, black campaign, atau penyebaran informasi palsu (hoax) merupakan bagian dari faktor kepentingan politik tertetu. Sehingga permasalahannya bukan lagi berdiri sebagai nilai baik atau buruk, akan tetapi lebih pada melakukan counter kepentingan atas perseteruan politik yang terjadi. Inilah kenapa kemudian muncul adanya politisasi agama secara sempit bahkan politisasi Pancasila di sisi yang lain.
Efektifitas Fatwa MUI harus disetting lebih dari sekedar sebuah formalitas kelembagaan, dan ini tentunya bukan hanya menjadi domain dari MUI. Dengan kata lain, efektifitas penisbatan hukum haram yang difatwakan oleh MUI harus lahir dari suasana kebatinan dan kesadaran sosial secara kolektif. Jika setiap orang mampu membangun nalar bahwa ujaran kebencian, ghibah, pernyataan yang mengadudomba, dan informasi hoax adalah perilaku yang menyimpang, bahkan sesat pikir (logic fallacy) maka secara naluriah masing-masing akan menjauhkan diri dan menganggap perbuatan tersebut sebagai sikap yang bodoh.
Media massa harus diakui akan membawa framing bagi publik, dan semua akan sangat tergantung dari aktor yang menggunakannya. Seperti mata pisau, maka media sosial akan sangat bisa melakukan pengrusakan dan pembunuhan karakter pada satu sisi, dan melakukan konstruksi-konstruksi kebaikan pada sisi yang lain. Pilihan keduanya ada ditangan para publik, utamanya netizen. Untuk itulah penting kemudian negara melakukan upaya konstruktif dan ideologis untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mampu menggunakan media sosial dengan cerdas. Yang ini berarti perlu ada literasi bermedia sosial, untuk tidak mudah terpancing dengan isu-isu murahan tanpa sebuah konfirmasi infomasi yang valid, tidak menyebar berita-berita hoax yang mengarah pada firnah dan pembunuhan karakter, dan bersikap kritis bukan skeptis atas informasi-informasi yang diterima, lakukan kroscek dan konfirmasi atas kebenarannya.
Epiloq
MUI telah melakukan kewenangannya untuk menjaga keutuhan bangsa dan rasa toleransi umat dengan secara sigap mengeluarkan fatwa dalam bermuamalah di media sosial. Maka selanjutnya publik juga harus melakukan cara pikir yang progresif untuk menjadikan fatwa tersebut tidak sekedar formalitas namun bagian dari nilai kebangsaan yang mengejawantah dalam diri serta perilaku. Cerdas bermedia sosial menunjukkan tingkat kecerdasan publik dalam bermuamalah.
This post was last modified on 10 Maret 2021 2:24 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…