Narasi

Memikrajkan Mental Bangsa dari Hoax dan Radikalisme

“Apa yang membuat suatu bangsa runtuh?” Demikian salah satu pertanyaan penting Arnold J. Toynbee. Menurut sejarawan kawakan ini, yang membuat suatu bangsa atau peradaban runtuh bukanlah karena lemahnya militernya, minimnya pertahanannya, atau merosotnya pertumbuhan ekonominya.

Militer, ekonomi, dan sebagainya itu hanyalah efek samping. Faktor utama runtuhnya peradaban suatu bangsa adalah hilangnya spiritualitas dari bangsa itu. Puluhan peradaban dalam lintasan sejarah yang sudah diteliti oleh Toynbee menunjukkan itu, bahwa ketika hilang spiritualitas dari suatu bangsa, tak lama lagi peradaban itu akan hancur juga.

Spiritualitas yang dimaksud di sini adalah dorongan dalam hati terdalam manusia untuk bisa menghargai perbedaan. Hati yang tidak lagi terkotak-kotak oleh sekte, suku, kelompok, serta identitas sempit lainnya.

Seorang yang mempunyai spiritualitas ia bisa meninggi ke atas, dan ketika dia melihat ke bawah ia tidak lagi melihat perbedaan. Semuanya sudah menyatu dalam pengawasan Yang Maha Tinggi. Spiritualitas berangkat dari kebersihan hati. Memandang manusia bersumber dari sumber yang sama, yakni Tuhan Semesta Alam.

Kalaulah kehidupan ini diumpamakan seperti hutan, orang yang mempunyai spiritualitas, ia tidak lagi memandang pohon per pohon, terjebak oleh perbedaan satu jenis batang pohon dengan batang pohon lainnya, melainkan ia naik meninggi. Ketika dia sudah meninggi, saat itulah, yang dia lihat hanyalah kumpulan pohon.

Momentum Isra’-Mikraj

Persis inilah yang pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa luar biasa, Isra-Mikraj Nabi Muhammad SAW. Nabi melakukan perjalanan dari Mekkah (Masjidil Haram) menuju Palestina (Masjid Al-Aqsa) hingga naik ke langit sampai ke Sidratul Muntaha.

Terlepas dari perdebatan yang mengitari peristiwa besar ini. Salah satu makna yang bisa kita berikan bahwa peristiwa besar ini mengajarkan kita untuk bisa meninggi menuju puncak spiritualitas.

Meninggi di sini bukan maksudnya sombong, melainkan suatu sikap untuk bisa menghilangkan sekat-sekat yang membatasi kita. Selama ini kita terkotak-kotak oleh kepentingan kita masing-masing. Bisa partai, ideologi, suku, bahwa agama. Kita bisa meninggi, atau dalam istilah agama melakukan mi’raj, yang dengan itu kita bisa keluar dari kotak yang membelenggu kita.

Jika Nabi naik tangga (baca: meninggi [mi’raj]) dan bertemu dengan Allah dan menerima peritah salat, maka kita juga harus memikrajkan (meninggikan) diri kita dengan tujuan menuju titik persamaan di antara kita bersama.

Al-Quran menyuruh kita untuk bisa memikrajkan diri kita. Ta’alau ila Kalimatin Sawa, biasanya diartikan dengan, mari kita menuju titik temu. Terjamah ini tidak sepenuhnya salah, tetapi kalau kita lihat kalimat ta’alau yang sama artinya dengan ‘ala (atas), maka makna pas adalah adalah mari meninggi menuju titik temu.

Bersih dari Hoax dan Radikalisme

Dalam konteks sekarang, meninggi dari apa? Salah satu refleksi Isra’-Mikraj yang bisa kita lakukan adalah meninggi dari Hoax dan Radikalisme. Hoax bisa meruntuhkan peradaban. Baru-baru ini kita terkejut dengan satu fakta bahwa pemenggalan seorang guru di Francir justru lahir dari hoax yang dibuat oleh anak muridnya sendiri. Francis heboh. Dunia mengutuk.

Radikalisme dengan segala turunannya bisa mengancam keutuhan suatu bangsa. Dengan memaksakan ideologi tertentu secara anarkis, tentu itu bisa merusak tatanan kehidupan yang harmonis.

Kini saatnya kita besihkan mental bangsa dalam segala lini kehidupan dari hoax dan radikalisme. Dari anak kita, keluarga, dan orang-orang sekitar kita. Mari kita meninggi menuju perdamaian. Menuju titik temu yang bisa memperstukan kita.

Dalam konteks Indonesia, titik temu itu adalah Pancasila. mari kita menuju ke sana. Memperingati Isra-Mikraj adalah memomentum kita untuk tetap merawat titik temu kita ini. Kita jaga dari para perusak dan para kelompo yang ingin menggantinya. Memikrajkan diri. Meninggi menuju titik temu. Meninggi menuju perdamaian, adalah kunci untuk membesihkan hati dari hoax dan radikalisme.

This post was last modified on 12 Maret 2021 2:17 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

2 hari ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

2 hari ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 hari ago