Narasi

Fenomena Deepfake, Visualisasi Hoax, dan Bagaimana Mencegahnya?

Ada bentuk peralihan dari narasi kebohongan menjadi visualisasi kebohongan di dunia digital saat ini. Hal ini tidak terlepas dari fenomena teknologi deepfake yang merupakan tipe artificial intelligence (AI) yang bisa membuat video palsu. Dengan memasukkan wajah seseorang, lalu diedit seolah orang tersebut melakukan sesuatu, berbicara sesuatu atau menyampaikan sesuatu yang sebetulnya (dia tidak menyampaikan apa-apa).

Fenomena tekonologi deepfake tentu akan melahirkan potensi (visualisasi hoax) dengan strategi memanfaatkan gambar/suara/foto orang-orang yang dianggap berpengaruh terhadap masyarakat. Misalnya, memanfaatkan foto tokoh agama lalu diedit “se-mirip mungkin” seolah menyampaikan narasi membenarkan kebencian/intoleransi. Padahal, tokoh agama tersebut tidak melakukan itu dan ini merupakan bentuk (visualisasi hoax) yang harus kita waspada. 

Pada Rabu (13/9/23) Ketua Senat AS dari partai Demokrat menghadirkan para pemimpin perusahaan teknologi kondang di dunia. Seperti Elon Musk (CEO Tesla), Mark Zuckerberg (CEO Meta Platforms), Bill Gates (mantan CEO Microsoft) dll. Pertemuan ini dilakukan secara tertutup di Capitol Hill, guna membahas tentang realitas artificial intelligence (AI) dengan segala kejahatan yang menjalar di dalamnya seperti trend penggunaan deep fake itu.

Lantas, bagaimana mencegah hoax di balik fenomena deepfake itu? Tentu, kita sebetulnya memiliki acuan/prinsip yang sama di dalam mencegah bahaya hoax di balik pemanfaatan wajah seseorang dengan membuat video palsu (visualisasi hoax) agar orang terkecoh, seolah provokasi/kebencian dibenarkan oleh para tokoh agama, padahal itu hanyalah video palsu yang memanfaatkan foto tokoh agama.

Hal yang dapat kita lakukan sebagai basis pencegahan adalah dengan tidak tergesa-gesa jika ada sebuah video, foto, suara dari orang-orang yang kita anggap berpengaruh secara agama, lalu memerintahkan untuk memecah-belah atau sentiment atas keragaman. Prinsip yang sama dapat kita lakukan yaitu mengkritisi, mempertanyakan kembali, mencari kebenaran sebuah video tersebut dan di sinilah kehati-hatian untuk tidak membenarkan meskipun itu berbentuk (visual) seperti video pernyataan.

Karena, kecanggihan teknologi buatan seperti deepfake bisa membuat orang yang tidak mengatakan apa-apa bisa direkayasa dalam bentuk video seolah menyampaikan banyak hal. Inilah yang disebut potensi visualisasi hoax yang harus kita benar-benar waspadai. Komitmen ini tentu lebih sensitif bukan terhadap siapa yang mengatakan, tetapi melihat kebenaran apa yang dikatakan oleh orang yang kita anggap berpengaruh seperti tokoh agama atau tokoh bangsa. 

Kemajuan teknologi itu memiliki nilai yang objektif dan bisa digunakan ke dalam banyak kejahatan dan kebaikan. Sebab, artificial intelligence (AI) yang dikenalkan oleh John McCarthy pada tahun 1956. Dengan prinsip modeling human intelligence in the form of (technological sophistications). Pada dasarnya tak sekadar memudahkan manusia dalam segala hal, tetapi membuat sebagian “ego” manusia justru menjadi pongah, gemar merusak, melancarkan kejahatan dan memecah-belah peradaban manusia.

Hal ini menunjukkan, bahwa artificial intelligence (AI) hanya memodelkan kepintaran manusia, bukan menjadikan manusia menjadi ber-etika. Maka di sinilah pentingnya “nilai religiositas” yang dapat menjembatani segala bentuk aktivitas di era digital utamanya di tengah fenomena teknologi deepfake sebagai tipe artificial intelligence (AI) yang akan membuat kelompok radikal memecah-belah kita dengan membuat (visualisasi hoax) dengan memanfaatkan foto lalu dibuat video palsu.

Eksistensi nilai “religiositas” pada dasarnya menjadi penting di era popularitas artificial intelligence (AI). Di tengah keputusan penggunaan ruang digital yang melahirkan kepintaran-kepintaran (tanpa kontrol) bisa merusak/memecah-belah tatanan. Kesadaran beragama di dalam menguatkan spirit persatuan pada dasarnya menjadi nilai fundamental di era artificial intelligence (AI) yang kian massif semacam deepfake yang bisa membuat orang yang sebetulnya tidak berbicara apa-apa lalu digunakan fotonya, diedit dalam bentuk video (video palsu) dan seolah menyampaikan banyak hal tentang (kebencian) antar umat agama, padahal itu bohong.

This post was last modified on 19 September 2023 12:45 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Tepo Seliro: Mengeja Cinta dengan Kearifan Budaya

Di tengah gejolak global yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan sentimen sektarian yang semakin keras,…

4 jam ago

Strategi Mendekatkan Ajaran Agama Cinta dengan Generasi Muda

Di tengah pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi, generasi muda saat ini hidup dalam era yang…

4 jam ago

Asmaul Husna Cinta; Menafsirkan Konsep Mahabbah dalam Konteks Nusantara

Di dalam Islam, Tuhan (Allah) memiliki 99 nama untuk merepresentasikan sifat-sifat-Nya. Itulah yang disebut Asmaul…

4 jam ago

Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Banda Aceh oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror…

1 hari ago

Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

Menurut sebagian Muslim, Fathu Makkah dilihat sebagai upaya hegemoni ofensif oleh umat Islam di daerah…

1 hari ago

Kidung Cinta Walisongo untuk Generasi Muda

Walisongo adalah tokoh-tokoh besar yang tidak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa, tetapi…

1 hari ago