Narasi

Fenomena Rizieq dan Senjakala Dakwah Provokatif

Akhir-akhir ini ruang publik kita disuguhi dengan ‘fenomena Rizieq’, semenjak kedatangannya ke Indonesia awal bulan November yang lalu. Di awal kedatangannya, ia sudah membuat polemik yang dentumannya menyebar ke seantero negeri. Karena di tengah situasi pandemi, ia telah melanggar program protokol kesehatan covid-19 yang dicanangkan pemerintah dengan gempuran massa menyambut kedatangannya. Selain itu, rizieq juga menyelenggarakan acara pernikahan anaknya yang secara prokes melanggar Social Distancing (berkerumun).   

Berbagai respon tentang fenomena Rizieq seketika membanjiri ruang publik media, mulai dari kalangan artis, akademisi, hingga pejabat publik.  banyak dari mereka yang merespon negative terkait berbagai blunder aktivisme yang dilakukannya. Salah satunya, yang menarik perhatian penulis adalah respon MENKOPOLHUKAM, Prof. Mahfud MD.

Mahfud MD, sebagai pejabat publik terus konsisten merespon berbagai aktivisme dakwah yang dilakukan oleh Habib Rizieq. Meskipun bagi penulis dalam konteks komunikasi politiknya masih lemah. Namun, keberanian dan ketegasan dalam merespon siapa saja yang melanggar hukum terkait dengan prokes covid-19 perlu diacungi jempol.

Sebagai orang Madura, karakter Mahfud MD, adalah apa adanya, bahkan dalam komunikasi publiknya seakan tanpa tedeng aling-aling. Hal ini pun berkelindan dengan hasil penelitian A. Lathif Wijaya dari Universitas Jember bahwa karakter orang Madura itu apa adanya, spontan dan terbuka.

Seketika respon Mahfud MD yang oleh seluruh pecinta Habibe Rizieq dianggap sebagai pelecehan kepada Imam Besar mereka, kemudian massa FPI seketika menyerang/menggeruduk kediaman Mahfud MD, di Pamekasan Madura. Dalam konteks ini, aksi radikal sekelompok orang yang melampiaskan kebencian ke rumah Ibunda mantan Ketua Mahkamah Konstitusi di Madura ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan bagi orang Madura merupakan sebuah fenomena baru bahkan pelecehan yang selama ini menjunjung tinggi nilai luhur untuk tidak melawan pemerintah yang sah.

Sebagaimana menurut Dr. Malik Madany (2020), dalam budaya luhur Madura, 3 (tiga) pihak/elemen yang tidak boleh dilawan. Pertama, kedua orang tua, kemudian guru/kyai dan yang terakhir adalah pemerintah (ratoh).

Namun, dalam konteks peristiwa penggerudukan rumah Mahfud MD, itu terdapat nilai luhur yang dilanggar. Karena begitu kuatnya provokasi ajaran tentang cinta dan penghormatan kepada habaib yang melampaui batas, alias kebablasan. Seakan-akan mereka ma’shum (bebas dari dosa dan kesalahan). Padahal dalam ajaran Islam yang benar, hanya Rasulullah saw lah yang ma’shum. Anak keturunannya tidaklah ma’shum.

Dalam literature klasik, pernyataan Al-Imam Hujjatul-Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya ihya’ Ulumuddin sangatlah relevan, beliau berkata: kullu  maa jaawaza haddahu ‘aada ilaa dliddihi (segala sesuatu yang melampaui batas yang seharusnya, akan kembali kepada kebalikannya). Maka sejatinya, kecintaan kita kepada para habaib haruslah proporsional, karena ia akan membawa dampak yang produktif. Namun, jika cinta itu sudah di luar batas yang seharusnya, ia akan menjadi kontra produktif bahkan cenderung destruktif.

Paranoid Dakwah

Berdasarkan jejak digitalnya, Rizieq dikenal sebagai pendakwah yang provokatif dan tidak mentorelir golongan yang berbeda dengannya. Bahkan tempat-tempat yang baginya maksiat, sedangkan oleh pemerintah itu dilegalkan diperanginya dan tak segan-segan digeruduk oleh massanya, dalam satuan Front Pembela Islam (FPI).

Meminjam bahasa Abdillah Toha (2020) pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Rizieq itu adalah paranoid. Bahkan dakwah paranoid yang anti asing dan agama lain itu  saat ini sangat cepat meluas dan menyebar ke mana-mana, karena ditunjang dengan kemajuan teknologi internet melalui media media sosial, media massa daring dan mudahnya komunikasi antara pengguna internet. Para ustadz dan Habib yang tadinya tidak pernah kita dengar namanya kemudian muncul ke permukaan dan popular, pada gilirannya hal ini mendorong ustad-ustad muda tidak mau ketinggalan berpartisipasi  dalam lomba ke kepopuleran ini.

Dakwah yang provokatif seketika membanjiri ruang publik media kita, yang ditengarai berjejaring dan terilhami oleh dakwahnya Imam Besar FPI ini. Maka dari itu, perlunya kita selektif dalam mengkonsumsi dakwah-dakwah yang moderat dan penuh dengan kesejukan dalam membangun narasi. Karena sejatinya, dakwah itu harus santun, tidak boleh ada sumpah serapah yang menyertainya.

This post was last modified on 11 Desember 2020 11:12 AM

Ferdiansah Jy

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago