Narasi

Filsafat dan Gerakan Anti-Teror

Para sarjana filsafat dapat memainkan peran untuk memberikan alternatif pemikiran terhadap argumen yang berupaya menjustifikasi terorisme baik dengan argumentasi keagamaan maupun sekuler. Igor Primoratz, dalam bukunya Terrorism: A philosophical investigation, membangun dan mengembangkan dua proviso mengenai terorisme yang dapat dijustifikasi secara moral:

1) Pembersihan atau pemusnahan total etnis mencerminkan bencana moral yang perlu   dibedakan dari kondisi darurat puncak (supreme emergency) oleh Primoratz. Yang           pertama, menurut Primoratz, lebih berbahaya karena melibatkan pembersihan etnis     ketimbang yang kedua (Primoratz,    2013: 173).

2) Ada argumen yang meyakinkan untuk percaya bahwa terorisme merupakan satu-       satunya cara yang dipercaya oleh para pelakunya akan berhasil menghindari maupun             menghentikan pemusnahan etnis (Primoratz, 2013: 173).

Namun, Primoratz mengakui bahwa ia kesulitan menemukan contoh historis dari terorisme yang dapat diterima secara moral. Argumen Primoratz lemah pada proviso pertama karena etnis yang akan dimusnahkan tidak pernah tahu atau tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan bahwa aksi terorisme yang adil akan berhasil melawan terorisme yang tidak adil. Mereka hanya tahu bahwa tidak akan ada yang akan menghentikan kekejaman Israel kecuali warga Palestina sendiri.

Jika metode perjuangan warga Palestina tidak dapat dianggap sebagai terorisme yang dapat dijustifikasi secara moral, maka Primoratz juga tidak dapat secara moral mengimplikasikan bahwa metode itu merupakan terorisme semata karena kodrat brutalisme, kolonialisme dan genosida Israel terhadap warga Palestina.

Tantangan dan Alternatif

Gerakan anti-teror perlu mengantisipasi lima tantangan di masa depan. Pertama, ideologi teror baik yang berdasar pada argumen keagamaan maupun pandangan rasial. Kedua, dendam yang melekat pada keluarga khususnya keturunan para pelaku teror yang ditembak mati seketika tanpa mendapat proses peradilan yang memadai. Ketiga, motif ekonomi. Seandainya ISIS menawarkan gaji rata-rata 1.500 dollar AS per bulan bagi para anggotanya, maka motif ekonomi tidak lagi menjadi mitos bagi wacana terorisme di Indonesia. Keempat, Indonesia menjalin hubungan dagang dengan negara teror yang masih mempraktikkan kolonialisme di muka bumi, yaitu Israel terhadap Palestina khususnya Gaza. Para ideolog teror dapat mengeksploitasi fakta historis ini guna mengembangkan argumen sekuler untuk mendukung aksi teror melawan NKRI yang tidak hanya berdagang dengan negara teror kolonial bernama Israel tetapi juga mengkhianati Pembukaan UUD. Kelima, aksi militer yang dilakukan organisasi anti-teror di Indonesia tidak boleh secara moral mengakibatkan (isu) terorisme negara.

Jika anda setuju bahwa terorisme di ranah internasional tidak hanya berdasar pada argumentasi kegamaan, ekonomi, dendam tetapi juga rasialisme serta sekularisme, sesungguhnya para sarjana filsafat perlu dilibatkan lebih jauh untuk melawan terorisme khususnya dalam hal pembangunan serta pengembangan wacana kontra-terorisme.

Semakin koheren dan meyakinkan argumentasi kontra-terorisme, semakin sempit ruang gerak para pelaku teror untuk merekrut calon anggota. Igor Primoratz merupakan contoh bahwa sarjana filsafat sekaligus warga sipil dapat melihat celah kecil yang dapat dimanfaatkan oleh para teroris. Celah kecil itu yang perlu kita tutup secara argumentatif.

Qusthan Firdaus

Penulis memiliki MA in Ethics dari The University of Melbourne, menamatkan program Sarjana di Filsafat UGM Yogyakarta dan dosen tetap di Universitas Buddhi Dharma, Tangerang.

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

16 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

16 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

16 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago