Narasi

Formalisasi Syariat; Pengingkaran terhadap Misi Islam Rahmah

Meski wacana formalisasi syariat sudah lama ditolak namun sampai kini wacana tersebut masih saja digulirkan oleh sejumlah kelompok Islam kanan. Kelompok-kelompok Islam kanan terus mengupayakan agar syariat tidak lagi sekadar menjadi pedoman moral umat, melainkan berubah menjadi hukum formal negara yang mengikat seluruh warga.

Upaya itu muncul dalam berbagai bentuk: mulai dari dorongan pembentukan perda-perda bernuansa syariat di sejumlah daerah, hingga propaganda khilafah transnasional yang gencar digerakkan melalui media dakwah dan organisasi massa. Gelombang ini seolah tak pernah surut, bahkan semakin menemukan momentumnya ketika krisis sosial, ekonomi, dan politik melanda negeri. Para kelompok Islam kanan ini memiliki keyakinan bahwa hanya dengan menjadikan syariat sebagai hukum formal, Islam bisa ditegakkan secara sempurna.

Namun, gagasan tersebut sebenarnya menyimpan kontradiksi mendasar. Sebab, formalisasi syariat diakui atau tidak justru mereduksi makna syariat itu sendiri, yang sejatinya lebih luas daripada sekadar perangkat hukum. Pada saat yang sama, gagasan tersebut juga menyalahi tradisi panjang Islam yang penuh keragaman tafsir, serta mengabaikan misi utama agama ini sebagai rahmatan lil-‘alamin—rahmat bagi seluruh semesta tanpa terkecuali.

Misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin adalah menghadirkan kasih sayang, keadilan, dan kebaikan bagi seluruh manusia, bahkan bagi semesta alam. Rahmah dalam Islam tidak hanya berlaku bagi pemeluknya, tetapi juga bagi orang-orang di luar komunitas Muslim. Nabi Muhammad SAW menunjukkan prinsip itu melalui tindakan-tindakannya, di mana beliau tidak memaksakan hukum Islam sebagai hukum negara saat beliau memimpin Madinah. .

Dan sebaliknya, yang Nabi tegakkan justru perjanjian bersama tentang hidup damai, saling melindungi, dan menegakkan keadilan. Jika Nabi sendiri tidak menjadikan formalisasi sebagai syarat keislaman, mengapa generasi kini justru memaksakan hal tersebut?

Tidak Perlu Diformalisasi

Sejatinya, penerapan nilai-nilai syariat dalam kehidupan bernegara tidak membutuhkan formalisasi. Keadilan, kejujuran, solidaritas sosial, penghormatan terhadap hak-hak manusia—semua itu bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus mengubah konstitusi negara. Ketika seorang Muslim berlaku adil dalam bisnisnya, ia telah menjalankan syariat.

Begitu ketika seorang muslim menolong atau membantu tetangganya yang berbeda agama, ia sedang menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Islam itu sendiri. Inilah esensi yang lebih penting ketimbang sekadar formalisasi. Islam yang hidup dalam perilaku nyata akan jauh lebih bermakna daripada Islam yang dibakukan dalam pasal-pasal hukum.

Sebab itu, sejatinya kita tidak perlu formalisasi syariat untuk menjadi umat Islam yg yang baik. Sebab, Islam tidak lahir untuk mengatur manusia melalui paksaan hukum, melainkan untuk membimbing mereka menuju kebaikan dengan penuh kasih. Rahmah bukan sekadar konsep, melainkan misi fundamental yang harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan. Bila syariat diformalisasikan, maka rahmah berubah menjadi ancaman, dan Islam akan tampil dalam citra yang jauh dari wajah Nabi yang penuh kelembutan dan kasih.

Untuk itu, dari pada sibuk pada urusan simbol, umat Islam sebaiknya mengarahkan energinya pada internalisasi nilai-nilai syariat dalam kehidupan nyata: menegakkan keadilan sosial, melawan korupsi, menumbuhkan etos kerja, merawat kerukunan, serta memperjuangkan hak-hak kelompok rentan. Semua itu adalah wujud syariat yang otentik, yang menghadirkan rahmah dalam realitas sosial. Inilah jalan yang lebih sejalan dengan visi Islam rahmatan lil-‘alamin dibanding formalisasi hukum yang justru mengingkari semangatnya.

Formalisasi syariat pada hakikatnya adalah pengingkaran terhadap misi Islam rahmah. Ia menyempitkan makna syariat, menutup ruang perbedaan, dan mengabaikan prinsip keadilan universal. Sebaliknya, misi rahmah hanya dapat diwujudkan dengan menjadikan Islam sebagai etika hidup yang membimbing, bukan sebagai instrumen politik yang memaksa. Dengan begitu, Islam akan benar-benar tampil sebagai agama kasih sayang, yang tidak hanya memberi kedamaian bagi pemeluknya, tetapi juga bagi seluruh umat manusia dan semesta.

Rusdiyono

Recent Posts

Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini…

1 hari ago

Hasrat Mimetik dan Mekanisme Kambing Hitam; Apa yang Harus Dilakukan Pasca Tragedi SMAN 72?

Peristiwa kekerasan di SMAN 72 sudah pasti menyisakan trauma psikologis bagi para korban. Kejadian itu…

1 hari ago

Pahlawan Harmoni: Meneladani Sahabat, Membumikan Pancasila

Jika kita diminta membayangkan seorang ‘pahlawan’, citra yang muncul seringkali adalah gambaran monolitik sosok gagah…

1 hari ago

Urgensi Sekolah Damai: Benteng Terakhir di Tengah Gelombang Intoleransi, Perundungan dan Kekerasan Pelajar

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…

2 hari ago

Bullying dan Kekesan di Sekolah : Bagaimana Menghadapinya?

Kekerasan dan bullying di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa…

2 hari ago

Membaca Anatomi Radikalisme; Dari Gawai ke Tragedi Ledakan di SMAN 72

Tragedi ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakut, Jumat lalu (7/11/2025), menyisakan kepedihan mendalam bagi…

2 hari ago