Categories: Narasi

Gerakan Radikal dan Sikap Anti Sosial

Kekuatan kelompok radikal makin membayangi masyarakat. Agitasi dan propaganda mereka lakukan secara massif, mulai dari pendekatan personal hingga ke dunia maya. Dari yang sekedar perlawanan etik individu terhadap realitas sampai tabuhan genderang perang.

Apa yang dilakukan kelompok radikal ini diakui mulai meresahkan sejumlah kalangan. Dari mulai skala negara hingga skala keluarga merasa berkeberatan dengan perkembangan gerakan ini. Para agamawan pun resah, mengingat ajaran yang mereka dengungkan justru bertolak belakang dengan konsep rahmatan lil ‘alamin yang selama ini diterima secara umum. Sebuah kebenaran agama yang mengajarkan umatnya untuk hidup harmoni dalam perbedaan.

Dr. Inger Furseth dan Dr. Pal Repstad menyebut bahwa landasan utama bagi sebagian orang menjadi radikal adalah apa yang disebut dengan ‘deprivasi’, yaitu sebuah kondisi dimana kualitas hidup berada dibawah dari apa yang diharapkan. Dalam buku berjudul an Introduction to the sociology, mereka menjelaskan bahwa deprivasi memiliki tiga bagian.

Pertama, deprivasi psikis, yakni sebuah kondisi dimana seseorang gagal memiliki pemahaman yang baik atas dirinya terhadap dunia di sekelilingnya. Orang dengan deprivasi psikis cenderung merasa bahwa dirinya berbeda, atau bahkan tertolak dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Tidak jarang orang dengan deprivasi jenis ini cenderung ingin keluar dari lingkungannya dan pindah ke lingkungan yang menurutnya tepat untuk dirinya.

Kedua, deprivasi etis. Adalah kondisi dimana sistem nilai personal bertentangan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Apa yang ia anggap benar bertolak belakang dengan anggapan masyarakat umum. Sehingga apa yang ia yakini sebagai nilai utama tertolak oleh masyarakat di sekitarnya. Ketika mengalami deprivasi etis, alih-alih bersedia untuk ‘berdamai’ dengan anggapan umum yang diterima masyarakat, ia justru semakin kuat meyakini kebenaran ‘versinya’ itu. Sehingga ia resisten terhadap kebenaran umum yang dianut oleh masyarakat setempat.

Ketiga, deprivasi eksistensial. Ialah sebuah kondisi dimana seseorang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya tatkala ia masuk dalam proses pemaknaan kehidupan. Orang dengan kondisi ini cenderung resah dan gampang marah. Ia memiliki bayangan utopis tentang kebahagiaan yang akan ia capai.

Dari ketiga deprivasi di atas, terdapat satu kesamaan utama yang membuat ketiganya tetap serupa meski tak sama, yakni sikap anti sosial. Delusi tentang nilai utama yang mereka bayangkan membuat mereka buta terhadap realitas sosial. Apa yang ada di kepala mereka hanyalah dorongan untuk segera keluar dan melakukan hal-hal besar yang akan membuat mereka merasa menemukan diri mereka yang sesungguhnya. Aroma ‘balas dendam’ terasa sangat kuat dalam setiap hal yang mereka lakukan.

Jika ditarik pada konteks dorongan untuk bergabung dengan kelompok radikal teroris seperti ISIS, maka dapat dipastikan bahwa siapapun yang bergabung dengan ISIS adalah orang-orang yang tidak memiliki kepedulian sama sekali dengan lingkungan sekitar, sehingga mereka tidak akan segan untuk melakukan berbagai tindakan onar.

Pandangan bahwa masyarakat menolaknya membuat orang dengan deprivasi merasa bahwa masyarakat layak untuk diberi pelajaran, termasuk pelajaran dengan jalan kekerasan. Oleh karenanya mereka akan sangat jarang merasa bersalah, sebab dalam kacamata mereka yang paling bersalah justru masyarakat. Bom bunuh diri bukan kejahatan, karena menurut mereka hal tersebut hanyalah salah satu cara untuk memberikan pelajaran dan teror mereka anggap sebagai cara untuk membuat masyarakat sadar.

This post was last modified on 16 Juni 2015 2:01 PM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

View Comments

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

18 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

18 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

18 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago