Di antara para wali lainnya, barangkali Sunan Geseng adalah salah satu wali yang kisahnya mendekati kisah Sunan Kalijaga. Ada beberapa versi mengenai asal-usul sunan yang memiliki lebih dari satu makam ini. Selain di Kulonprogo, Purworejo, dan Tuban, makamnya juga terletak di kompleks Gunung Andong, Magelang.
Salah satu versi mengisahkan bahwa Sunan Geseng merupakan orang ataupun keturunan orang Tionghoa yang bernama asli Gan Si Eng yang merupakan adik dari Gan Si Chang, yang tak lain dan tak bukan, adalah Sunan Kalijaga. Memang, Prof. Dr. Slamet Mulyana, berdasarkan kronika Sam Po Khong, pernah mencatat bahwa Sunan Kalijaga merupakan salah satu anak buah Laksmana Cheng Ho yang bernama asli Gan Si Chang (Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979).
Tapi saya membantah kronik Sam Po Kong yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga, sekaligus Sunan Geseng, adalah orang Tionghoa—meskipun sama sekali tak membantah tentang kontribusi orang-orang Tionghoa dalam penyebaran Islam di nusantara. Untuk mengatakan bahwa nama “Geseng” merupakan pelafalan lidah Jawa atas nama “Gan Si Eng” rasanya terlalu mengada-ada. Sebab andaikata pandangan ini benar kenapa Gan Si Chang, setelah menjadi dewan wali, dipanggil “Kalijaga” dan bukannya nama yang mirip dengan pelafalan “Gan Si Chang” sebagaimana “Geseng” (Gan Si Eng)?
Versi lain (Babad Jalasutra) mengatakan bahwa Sunan Geseng sebermulanya adalah Ki Cakrajaya, seorang penyadap nira di wilayah Bagelen, Purworejo. Sebagaimana Adipati Pandanaran, Ki Cakrajaya merupakan salah seorang yang secara khusus dikader oleh Sunan Kalijaga untuk menjadi pensyi’ar agama Islam.
Dari versi ini sepertinya memang tak ada hubungan genealogis antara Kalijaga dan Cakrajaya. Bahkan dari versi Jalasutran ini diketahui bahwa justru terdapat hubungan antara Ki Cakrajaya dan Sunan Panggung, yang menurut kepercayaan sebagian orang mereka berdua adalah satu pribadi yang sama.
Sunan Panggung sendiri, sebagaimana yang pernah saya ulas dalam buku “Jalan Jalang Ketuhanan: Dekonstruksi Santri Brai” (2011), adalah pengarang Suluk Malang Sumirang yang konon dihukum Sultan Demak dengan cara dibakar hidup-hidup di alon-alon Demak. Tapi dalam proses pembakaran itu ia justru menulis sebuah suluk yang berjudul Suluk Malang Sumirang.
Malang Sumirang sendiri merupakan seorang anak muda yang sedang mengalami proses jadzb, yang secara sekilas terkesan urakan dan melecehkan segala tata agama sehingga dihukumlah ia oleh sang Sultan sebagaimana Syekh Siti Jenar. Dan memang, sebagaimana Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung adalah salah seorang murid Siti Jenar yang mesti berurusan dengan otoritas keagamaan di masanya. Bahkan dari beberapa sumber, Gus Dur seumpamanya, pernah mengatakan bahwa Sunan Panggung adalah salah seorang anak dari Sunan Kalijaga, di mana nasab kyai yang pernah menjadi RI 1 ini juga bersambung.
Sementara dari Serat Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita dapat diketahui bahwa yang menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar pada generasi selanjutnya adalah Sunan Geseng, yang secara khusus menjadi pemejang Sasahidan yang konon menjadi wilayah garapan sang Siti Jenar. Dengan kata lain, Geseng ataupun Panggung adalah salah satu murid Siti Jenar yang lolos dari eksekusi otoritas keagamaan di masanya, yang barangkali juga karena peran dari seorang Kalijaga (Kalijaga: Wulung yang Agung, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id) sebagaimana yang dialami pula oleh Syekh Jangkung (Saridin) di Pati.
Berbeda dengan salah satu versi yang dipercaya juga oleh sebagian orang, bahwa Sunan Geseng sebermulanya adalah seorang empu yang bernama lengkap Empu Supa Mandrangi. Ia merupakan seorang empu di masa akhir kerajaan Majapahit yang secara khusus disuruh oleh Kalijaga untuk membuat keris dari bahan besi sebesar biji asam Jawa, yang kemudian tenar dengan sebutan keris Kyai Sengkelat. Konon, ia kemudian dinikahkan dengan adik perempuan Kalijaga yang bernama Dewi Rasawulan. Karena itulah Empu Supa juga dimakamkan di pemakaman Kadilangu, Demak.
Saya pernah singgah beberapa waktu di makam Sunan Geseng yang terletak di Desa Tirto, di kaki Gunung Andong, Grabag, Magelang. Di pucuk ketinggian bukit yang sejuk inilah, konon, Sunan Geseng diijazahi dan disuruh mengamalkan sebuah wirid dari Sunan Kalijaga, di mana dalam pelafalan lidah Jawa berbunyi “Yo kayuku yo kayumu.”
Menurut salah seorang santri yang menjadi juru kuci pemakaman ini, pelafalan lidah Jawa atas istilah-istilah Arab seperti ini sudah jamak dilakukan oleh orang-orang Jawa di masa lalu dan sama sekali tak mengurangi kadar kemujaraban dan keislamannya. “Tak pernah orang Jawa, Mas,” kata sang juru kuci, “Melafalkan dhuhur sebagai dhuhur dalam percakapan sehari-hari. Tapi lazimnya mereka menyebutnya sebagai luhur atau luhuran.” Dan sudah pasti hal seperti ini tak perlu menjadi perdebatan. Di sinilah kemudian orang sampai pada pemahaman tentang kenusantaraan.
Dikisahkan, karena tenggelam dalam kenikmatan wiridan, konon Sunan Geseng sampai perlu “dibangunkan” dengan cara dibakar hutan yang menjadi tempatnya wiridan. Sampai-sampai kayu dan semak di hutan itu pun ludes menjadi abu dan Sunan Geseng sendiri menjadi gosong tubuhnya. Versi inilah yang kemudian paling dipercaya orang tentang asal-usul penamaan “Geseng” di mana secara harfiah bermakna gosong menjadi abu (padam).
Tapi saya kira, sebagaimana kisah Sunan Kalijaga yang dipercaya orang disuruh Sunan Bonang untuk tapa pendem atau dikubur hidup-hidup yang dari perspektif tasawuf dapat dimaknai sebagai laku khumul (menyembunyikan jati dirinya), Sunan Geseng menjalani apa yang saya sebut sebagai laku “nut enering panuju,” yang secara sederhana dapat dimaknai untuk senantiasa tak melalaikan apa yang menjadi tujuan meski godaan—provokasi, agitasi, fitnah, dst.—menerjang bertubi-tubi.
Sebagaimana Wrekudara, Geseng adalah representasi orang yang istiqamah dan tak mudah goyah ketika niat dan tujuan sudah ditetapkan. Sebagaimana orang-orang yang tengah menjalani suluk yang senantiasa mendawamkan “Ya Tuhanku Engkaulah yang menjadi tujuanku dan RidhaMu-lah yang aku cari.” Atau secara praktis-pragmatis, sebagaimana Malang Sumirang yang terus-menerus menulis meski gangguan, api provokasi dan agitasi, setiap detik berkobar membakar.
Hakikat provokasi pada dasarnya adalah sebentuk begalan, seperti halnya adegan perang begal ataupun perang kembang dalam pertunjukan wayang purwa, di mana sang ksatria—dalam meditasinya—senantiasa diganggu untuk mengurungkan niat dan tujuannya agar badar dan menjadi orang gagal, pecundang, dan masuk ke golongan tertolak sebagaimana sang Buta Cakil yang akhirnya akan binasa oleh kerisnya sendiri (“Kadhung Kedhuwung”, Gua dan Beberapa Catatan Tentangnya, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
This post was last modified on 17 April 2020 1:46 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…