Diskursus kebangsaan kita sering kali terjebak dalam dua tarikan ekstrem. Di satu sisi, terdapat kerinduan, atau trauma, terhadap model “globalisasi” Pancasila yang kaku, sebuah upaya penyeragaman yang menempatkan ideologi sebagai doktrin pusat yang steril dan berjarak dari realitas budaya.
Di sisi lain, era pasca-reformasi menghadirkan ledakan lokalisasi, di mana identitas partikular—baik etnisitas, agama, maupun kedaerahan—muncul begitu kuat. Namun, kemunculan ini sarat risiko menjadi fanatisme sempit yang mengancam tenun kebangsaan.
Tragedi kemanusiaan di Sampit, Poso, dan Ambon adalah preseden pahit betapa berbahayanya ketika lokalitas dibiarkan tanpa naungan payung nasionalisme yang meneduhkan.
Keduanya menghadirkan masalah. Model pertama gagal karena memisahkan Pancasila dari akarnya; ia menjadi hafalan negara, bukan laku hidup warga. Model kedua, seperti yang dibuktikan oleh konflik-konflik tersebut, berpotensi membawa kita pada disintegrasi sosial. Kita berisiko memiliki ribuan lokalitas yang saling menegasi, alih-alih satu berteduh pada satu asas yang mengayomi.
Di tengah disorientasi ini, kita perlu menemukan kembali jalan tengah. Jalan tengah itu adalah glokalisasi Pancasila. Istilah glokalisasi dipinjam dari terminologi bisnis yang merujuk pada adaptasi produk atau layanan global agar sesuai dengan cita rasa dan konteks pasar lokal.
Dalam konteks kebangsaan, “global” adalah Pancasila—sebuah konsensus nilai universal yang berlaku untuk seluruh Nusantara. Sedangkan “lokal” adalah ribuan kearifan, adat istiadat, dan praktik sosial yang hidup dan dihayati oleh masyarakat sehari-hari.
Glokalisasi Pancasila adalah sebuah proses dialektis di mana nilai-nilai universal Pancasila (global) menemukan wujud konkret dan kontekstualnya (lokal) dalam kehidupan bermasyarakat. Ini adalah resep harmoni yang sesungguhnya karena ia membalik asumsi lama.
Pancasila tidak hadir untuk menggantikan atau menghapus lokalitas; ia hadir untuk menaungi dan melindunginya. Sebaliknya, lokalitas (kearifan lokal) bukanlah ancaman bagi Pancasila; lokalitas adalah cara terbaik dan paling otentik untuk mempraktikkan Pancasila.
Kita terlalu lama memandang Pancasila sebagai monumen abstrak yang harus dipandang dari jauh. Model glokalisasi mengajak kita melihat Pancasila sebagai rumah yang hidup, yang fondasinya adalah nilai universal, namun arsitektur, ornamen, dan perabotannya adalah kearifan lokal.
Mari kita bedah resep ini. Ambil contoh Sila Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Jika kita menggunakan model globalisasi (uniformitas), negara akan memaksakan satu mekanisme musyawarah yang seragam dari Jakarta, entah itu melalui prosedur formal pemilu atau rapat ala birokrasi. Praktik ini sering kali terasa asing dan transaksional bagi masyarakat adat.
Namun, dalam model “glokalisasi”, nilai universal musyawarah itu justru menemukan ekspresi termurninya pada praktik lokal. Di Minangkabau, ia mewujud dalam Rembuk Nagari. Di Bali, ia hidup dalam Musyawarah Banjar yang mengikat. Di desa-desa Jawa, ia adalah Rembug Desa di bawah pohon beringin.
Masyarakat Bali tidak perlu berhenti menjadi orang Bali untuk mengamalkan Sila Keempat; justru dengan menjalankan Musyawarah Banjar itulah mereka sedang mempraktikkan Pancasila secara paripurna. Lokalitas menjadi medium aktualisasi Pancasila.
Contoh lain adalah Sila Kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Model global yang kaku mungkin menerjemahkannya sekadar sebagai program bantuan langsung tunai atau proyek infrastruktur terpusat.
Namun, glokalisasi Sila Kelima menemukan wujudnya dalam kearifan lokal yang telah teruji zaman. Sistem irigasi Subak di Bali adalah pengejawantahan keadilan sosial dalam distribusi air. Lumbung Desa atau Leuit di masyarakat Sunda adalah mekanisme ketahanan pangan komunal yang menjamin tidak ada warga yang kelaparan. Ini adalah Sila Kelima dalam laku hidup, bukan sekadar slogan di spanduk.
Bahkan Sila Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menemukan rasa lokalnya. Jauh sebelum agama-agama formal terlembagakan, masyarakat Nusantara telah memiliki spiritualitas mendalam yang tercermin dalam ritual sedekah bumi, tolak bala, atau upacara adat yang menghormati alam.
Glokalisasi Pancasila berarti memahami bahwa praktik-praktik lokal ini bukanlah sesuatu yang primitif dan harus diberangus, melainkan ekspresi otentik dari nilai Ketuhanan itu sendiri.
Dengan demikian, Glokalisasi Pancasila adalah antitesis dari dua ekstrem. Ia menolak uniformitas yang represif karena ia menghargai konteks. Namun, ia juga menolak fragmentasi yang anarkis—seperti yang kita saksikan di Ambon dan Poso.
Lokalitas yang fanatik dan eksklusif adalah sumber bencana. Namun, lokalitas yang dirangkul oleh nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan Pancasila adalah DNA dari nasionalisme itu sendiri. Kekuatan Pancasila tidak terletak pada kemampuannya menyeragamkan, tetapi pada kelenturannya untuk diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa budaya lokal tanpa kehilangan esensi universalnya.
Pancasila hanya akan pulang dan menjadi relevan ketika ia berhenti diajarkan sebagai dogma dan mulai dirayakan sebagai praktik budaya lokal yang inklusif dan beradab. Inilah jalan tengah yang mendamaikan kita dengan sejarah, realitas, dan masa depan kita sebagai sebuah bangsa.
Ibarat kendaraan bermotor, gerakan ekstremisme juga butuh bahan bakar. Jika mobil atau motor bahan bakarnya…
Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti…
Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…
Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…
Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat,…