Narasi

Golden Rule: Melawan Kebencian dengan Ajaran Universal Agama

Masih segar dalam ingatan kita Tragedi Wamena, pada 23 September 2019 silam, yang memakan kurang lebih 30 korban jiwa. Tragedi ini bukan tanpa pemicu. Ia merupakan kulminasi dari kerusuhan yang terjadi sebelumnya di Surabaya. Lalu apa yang memicu kerusuhan di Surabaya?

Tidak butuh kalimat panjang untuk manjawab pertanyaan tersebut. Cukup dengan satu kata, “kebencian”. Kebencian hidup di tengah-tengah masyarakat seperti virus zombie. Layaknya virus, kebencian akan menjangkiti siapapun tanpa terkecuali korban dari kebencian itu sendiri. Oleh karena itulah, suatu tindakan yang didasari atas kebencian biasanya akan melahirkan reaksi yang tidak kalah mengerikan. Pertanyaannya kemudian, apakah dibenarkan secara moral membalas kebencian dengan kebencian? Jika ya, maka kita tidak akan menemukan apa-apa di dunia ini selain kebencian.

Jika ditelusuri lebih jauh, asal-usul kebencian pada dasarnya lahir dari sikap narsistik, yaitu cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Sikap seperti ini akan membuat seseorang tidak mampu mencintai orang lain yang berbeda dengan dirinya. Baik itu perbedaan ras, warna kulit, agama, atau bahkan cara pandang. Cinta narsistik tidak akan pernah sejalan dengan visi agama yang memandang manusia itu setara dan memerintahkan mereka untuk saling mencintai satu sama lain.

Visi seperti itu bukanlah khas milik satu agama tertentu, melainkan dapat ditemukan dalam semua ajaran agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Golden Rule. Dalam Islam, misalnya, Muhammad mengajarkan bahwa orang tidak bisa disebut beriman jika ia tidak mampu mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dalam Talmud orang Ibrani ditemukan ajaran yang hampir sama, “Apa yang menyakitkan bagimu, jangan lakukan terhadap sesamamu”. Konfusius juga pernah mengatakan, “Jangan lakukan kepada sesama apa yang kamu tidak ingin orang lain perbuat atasmu”. Kemudian Taoisme mengajarkan, “Anggaplah kehilangan orang lain sebagai kehilanganmu juga” (Robert C. Solomon, 1987: 8-9). Ajaran-ajaran universal seperti inilah yang kemudian jarang dikampanyekan para pengkhotbah kita; alih-alih mengkampanyekan cinta, mereka justru menebar kebencian atas nama ajaran agama.

Baca juga : Lepas dari Bayang-Bayang Radikalisme

Golden Rule di atas menunjukkan bagaimana para pendiri agama sejak dini telah menyadari bahwa tidak ada jalan lain untuk memutus mata rantai kebencian selain memperkuat apa yang menjadi lawan dari kebencian itu sendiri, yaitu cinta. Kemudian, mungkinkah Golden Rule dari setiap ajaran agama itu dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu berkaca pada perjuangan Mahatma Gandhi dalam menentang kolonial Inggris.

Gandhi dikenal oleh dunia karena ia mengkampanyekan perlawanan terhadap kolonial tanpa kekerasan. Bukan hanya itu, Gandhi mengajarkan kepada masyarakat India bahwa orang-orang Inggris tetaplah manusia yang harus dicintai. Dengan kata lain, apa yang harus dibenci dari kolonialisme adalah sistemnya, bukan pelakunya. Gandhi juga dikenal dengan ungkapannya yang mengatakan bahwa jika mata harus dibalas dengan mata, maka dunia akan dipenuhi dengan orang buta. Kebijaksanaan Gandhi dalam menentang kolonialisme Inggris pada akhirnya membawa India pada kemerdekaan yang bermartabat.

Tentu saja kita tidak harus jadi Gandhi, terlebih-lebih menjadi Nabi, untuk melawan kebencian. Perubahan jaman menuntut kita untuk menggunakan cara-cara yang berbeda dengan apa yang digunakan oleh orang-orang terdahulu dalam melawan kebencian. Apa yang harus dipertahankan adalah prinsipnya; jangan membalas kebencian dengan kebencian.

Jaman kita adalah jaman media sosial, di mana kebencian tidak hanya diumbar di dunia nyata, tetapi juga merambah ke dunia maya. Itu artinya mengkampanyekan Golden Rule demi melawan kebencian juga bisa dilakukan lewat akun-akun media sosial. Dengan dikampanyekan Golden Rule, secara otomatis akan mempersempit ruang gerak mereka yang sibuk mengumbar narasi-narasi kebencian. Sekali lagi, jangan lawan kebencian dengan kebencian karena yang demikian akan mendemoralisasi perlawanan terhadap kebencian itu sendiri.

This post was last modified on 16 Oktober 2019 4:58 PM

Mindra Hadi

View Comments

Recent Posts

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

21 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

21 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

21 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

4 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

4 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

4 hari ago