Pasca pemerintahan Turki mengubah status Hagia Sophia menjadi masjid, seketika pula “momentum” ini dimanfaatkan oleh para pengusung khilafah untuk menjual paham khilafah mereka. Di media sosial, saya banyak menemukan (penggiringan) opini yang dilakukan oleh para pengusung khilafah, bahwa perubahasan status Hagis Sophia adalah awal dari bangkitnya kembali khilafah islamiyah di muka bumi.
“Hagia Sophia dan Kembalinya Khilafah”, “Kembalinya Hagia Sophia dan Khilafah”, “Hagia Sophia Jadi Masjid, Erdogan Dipuji UAS dan Umi Pipik”, adalah sederet judul opini dan berita yang sengaja ditulis, dishare banyak-banyak, serta didramatisir oleh kaum khilafahis.
Sembari mengutib surah An-Nasr, para pengusung khilafah dengan over-optimisme menyatakan bahwa ini adalah awal bangkinya khilafah islamiyah. “Insyaallah, Hagia Sophia adalah permulaan, kabar tamsil, dan akan segera diikuti kabar gembira selanjutnya. Yakni, kabar dibaiatnya seorang Khalifah, kabar kembalinya Kekuasaan Islam, kabar tegaknya Daulah Khilafah ditengah tengah kaum muslimin.” Tulis kaum khilafais dengan percaya diri.
Marketing khilafahisme tidak hanya sampai di sini, pernyataan tokoh populer yang mendukung perubahan status tersebut, dikutip, dibesar-besarkan, dan dijadikan seolah-olah pendapat publik. Bebarapa video pendek, meme, dan quote, diedarkan secara senagaja di dunia maya. Bagi, pengusung khilafah, perubahan status Hagia Sophia adalah objek besar yang harus dijadikan sebagai bahan untuk memasar ideologi mereka.
Baca Juga : Ideologi Khilafah dan Politik Kuda Troya
Lihat saja permainan meraka, Erdogan dipuja-puji bak dewa, sementara pemimpin negeri sendiri dicaci-maki dan dihina. Begitu juga tentang memori tentang kejayaan Turki Usmani sengaja diingatkan kembali. Kehebatan Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel diungkapkan dan diulang-ulang di sosial media. Narasi bahwa Islam pernah memimpin dunia dan pernah menjadi super power didramatisir sedemikian rupa. Semua ini dilakukan dalam rangka marketing khilafaisme.
Jago Memanfaatkan Isu
Terlepas pro-kontra perubahan Hagia Shopia (dan itu memang bukan objek tulisan ini), para pengusung dan pengasong khilafah itu memang sangat jago memanfaatkan issu. Apapun kejadiaanya, apapun beritanya, dan apapun yang menjadi isu nasional (apalagi internasional!) selalu dimanfaat untuk mendongkrak nama kelompok meraka.
Mereka sangat jago mendramatisir, membesar-besarkan, serta sangat lihai memainkan emosi publik. Mulai dari isu LGBT sampai korupsi; mulai dari kenaikan BBM sampai kenaikan BPJS, dari aksi 212 sampai aksi bela Pancasila, semuanya dimanfaatkan dan dijadikan objek untuk mendulang empati dan mendapatkan suara dari khalayak ramai.
Memelintir berita dan menggiring opini agar masyarakat mau masuk gerbong mereka selalu dimainkan di media sosial. Tak sedikit dari masyarakat yang terkecoh. Dan banyak dari netizen yang menjadi pro dan menjadi loyal kepada mereka.
Selaian jago mendramatisir, mereka pun jago memainkan strategi play victim. Seolah meraka adalah korban yang terzalimi. Narasi bahwa pemerintah sangat keras terhadap meraka selalu disyiar-syiarkan. Mengapa kami selalu disalahkan? Mengapa gerak-gerik kami dibatasi dan diawasi? Mengapa pemerintah anti terhadap dakwah kami? Apa yang salah dengan dakwah kami –adalah sederat pertanyaan yang dilempar ke publik. Dan, dalam pertanyaan itu “mereka” selalu dinarasikan menjadi korban.
Starategi “memanfaatkan isu” ini harus kita sadari bersama. Kita harus tetap waspada terhadap narasi yang selalu mereka umbar. Sedini mungkin, dramatisasi dan eksploitasi suatu isu yang dimainkan oleh para pengasong khilafah harus kita tangkal. Kerja-kerja kolektif dan partisipasi semua kalangan dan keterlibatan semua lini sangat diperlukan.
Meraka tak ubahnya seperti ikan belut. Bisa masuk kemana saja dan memainkan issu demi kepentingan dan naiknya daya tawar ideologi mereka. Jika strategi ini tidak berhasil, akan dicari startetgi yang lain. Jika play victim tidak membuahkan hasil, strategi dramtisasi dan eksplitasi dimainkan. Begitu seterusnya. Kemarin, kita masih dengan jelas melihat, bagaimana ormas yang secara jelas tidak mengakui Pancasila, tiba-tiba membuat aksi bela Pancasila. Kita seperti bermimpi di siang bolong. Kini berita perubahan status Hagia Shopia dimainkan untuk memasarkan paham mereka. Kita harus mewaspadi setiap gerak dan geliat marketing kaum khilafaisme.
This post was last modified on 14 Juli 2020 6:16 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…