Narasi

Haji Sebagai Cerminan Multikultural dalam Islam

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain.”

Dalam ayat QS. Al-Hujurat ayat 13 tersebut tanpa jelas, bagaimana Tuhan telah menciptakan kaum yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Ayat ini juga menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain (lita’ârafû).

Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‘âruf itu dimaksudkan agar setiap manusia dapat mengenal satu sama lain, bukan untuk saling bertentangan. Mengenal saling merajut persaudaraan dan silaturahmi. Perkenalan yang dimaksud dalam ayat ini tidak hanya sebatas tetangga, melainkan antar suku dan bangsa.

Tetapi kini, perkenalan tidak dilakukan dengan merajut cinta dan persaudaraan, tetapi dibangun dengan pertikaian. Dalam berjalannya waktu, kita tidak menjadi menusia yang damai, tetapi manusia yang penuh ketakutan. Ketakutan untuk rasa hidup aman dan berdampingan.

Bila kita mencermati setiap tahun, Tuhan telah memberikan tanda agar kita bisa duduk dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda itu. Salah satunya dalam momen Haji yang dilaksanakan pada tanggal 8 pada bulan terakhir dalam penanggalan Islam, bulan Dzulhijjah, dan akan berakhir pada hari ke-13 pada bulan yang sama.

Haji tidak hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan ia sebagai ibadah sosial. Kerinduannya kepada Allah dan Kajeng Nabi menjadi unsur utama dalam menjalankan ibadah ini, di sinilah mereka di kumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku dan bangsa.

Bangsawan dan rakyat jelata memakai pakaian yang sama, dan tidak ada yang istimewa. Perbedaan warna kulit tidak ada artinya. Seorang kulit putih dari Benua Eropa akan berdiri sejajar dengan seorang kulit hitam dari Afrika. Mereka pada waktu dan tempat yang sama melakukan ibadah kepada Sesembahan yang sama, yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak di sembah selain Dia.

Dalam perjalanan ruhani ini terjadi pertemuan antar jamaah yang diakhiri dengan perkenalan. Sebelum seluruh rangkaian manasik haji dirampungkan, mereka akan mulai saling bertukar alamat tempat tinggal, saling berkunjung, atau surat menyurat.

Semangat pertemanan akan muncul dan persaudaraan akan terjalin kuat. Seolah-olah itu semua seperti hasil panen yang mereka petik. Pada tahun berikutnya, mereka akan kembali menjalin perkenalan baru, menyegarkan kembali hubungan pertemanan pada tahun sebelumnya, penuh dengan rasa kasih dan semangat persaudaraan.

Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan keturunan belaka tetapi lebih pada ikatan iman dan agama dalam universalitas bangsa-bangsa dunia. Persaudaraan dan persatuan ini juga bukan eksklusif internal satu aliran dan madzhab, tetapi universal dalam lintas batas madzhab.

Perbedaan madzhab boleh saja terjadi dan memang tidak dapat dihindari. Namun yang terpenting adalah perbedaan itu tidak membuat bercerai-berai. Perbedaan itu justru diharapkan menjadi rahmat sebagaimana dikatakan hadits atau atsar, bukan menjadi adzab. Perbedaan yang menjadi rahmat ini diharapkan terjalin sebagai jaringan sosial yang saling bersinergi.

Dari perbedaan yang ada di Tahan Suci, diharapkan dapat  membangkitkan perasaan kasih sayang antar sesama muslim, pengendalian hawa nafsu dan semangat kebersamaan yang pada akhirnya diharapkan bisa membangkitkan persatuan, kerja sama dan kekuatan solidaritas Umat Islam sedunia. Kemudian juga  dapat menumbuhkan semangat berkorban tanpa pamrih, hal ini karena ibadah haji memang harus ditunaikan dengan pengorbanan yang sangat besar, baik berupa harta, jiwa, tenaga hingga waktu selama menjalankan ibadah. Tempaan atau binaan dalam ibadah haji semestinya membuat kaum muslimin tidak segan-segan untuk berkorban dengan harta dan jiwanya.

Ketika dalam menjalankan ibadah haji dapat menjalin persaudaran dan perdamaian kepada semua orang maupun golongan, maka dia akan mendapatkan manfaat atau barokah dari ibadah haji. Jika kesempuranaan ibadah haji di dapat, maka akan terlihat dalam saat pulang ke kampung halaman.

Mereka dalam kehidupan sehari-hari akan menghargai perbedaan yang ada dalam lingkungan masyarakat. Karena mereka sadar bahwa keberagaman dalam bentuk apapun adalah niscaya karunia Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Dan yang lebih terpenting adalah bahwa kita dilahirkan dari bangsa-bangsa yang berbeda, tetapi kita dipersatukan atas nama agama dan iman.

Dari uraian yang sederhana tersebut, kita dapat mengambil hikmah bahwa Islam mengajarkan tentang multikultur. Islam tidak diperuntukkan satu ras atau etnik tertentu, tetapi Islam diperuntukkan untuk semua manusia tanpa kecuali. Dan Islam dibangun atas dasar perdamaian dan persaudaraan, hal ini kita bisa lihat dalam tatanan ibadah Haji.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

13 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

13 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

13 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

13 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago