Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang menyerang aparat dengan brutal. Ada yang membakar gedung pemerintah dan fasilitas umum lainnya. Bahkan, ada yang nekat menyatroni rumah pejabat dan menjarah isinya. Dan semua itu dikemas dalam satu narasi; demonstrasi menyuarakan aspirasi.
Demonstrasi itu mudah dan murah. Hanya dengan modal megaphone atau pengeras suara lainnya, seseorang dapat menyampaikan aspirasinya atas sebuah isu. Apalagi di zaman digital. Protes sosial politik itu kelewat mudah dan murah. Satu cuitan yang viral, mampu mengubah sebuah kebijakan pemerintah yang krusial.
Namun, amarah itu harganya mahal. Kita melihat sendiri bagaimana dampak amarah kolektif yang mewujud pada aksi brutal perusakan, pembakara, dan penjarahan. Sejumlah nyawa melayang. Sebagian dari mereka bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan aksi demonstrasi. Misalnya, tiga staf kantor pemerintahan di Makassar tewas ketika massa membakar gedung DPRD Provinsi Makassar.
Satu korban adalah peremuan berusia 26 tahunan yang terjebak di dalam gedung yang tengah terbakar. Korban lainnya adalah lelaki berusia 43 tahunan yang tragisnya tewas karena melompat dari atap gedung yang tengah dilalap api. Betapa kisah kematian dua orang itu menyayat siapa pun yang masih punya hati.
Perempuan berusia 26 itu bisa jadi adalah anak kebanggaan keluarganya. Dan lelaki 43 tahun itu kemungkinan besar adalah suami dan ayah di keluarganya yang menjadi tulang punggung ekonomi. Pernahkah kita berpikir, bagaimana nasib keluarga mereka pasca ditinggalkan? Ironisnya, cerita tragis itu hanyut oleh berita-berita tentang euforia demonstrasi.
Kita tentu sepakat bahwa demonstrasi adalah hak warganegara yang dilindungi konstitusi. Namun, kita tentu juga sepakat bahwa apa yang terjadi selama sepekan belakangan ini sudah melenceng jauh dari hakikat demonstrasi. Yang terjadi selama sepekan terakhir ini lebih tepat disebut sebagai ledakan emosi kolektif yang dikobarkan melalui narasi provokatif.
Dan, harga sebuah kemarahan itu harus kita bayar mahal. Bagaimana tidak? Gedung pemerintahan di sejumlah daerah (Surakarta, Makassar, Surabaya) yang rusak parah itu tentu membutuhkan uang tidak sedikit untuk perbaikan. Pembakaran fasilitas umum seperti halte transjakarta, bahkan kantor bank BUMN juga membutuhkan biaya tidak sedikit untuk membangunnya kembali.
Dan biaya itu akan diambil dari anggaran negara yang salah satu sumbernya juga dari uang pajak rakyat. Artinya, justru aksi-aksi kemarahan publik itu akan merugikan masyarakat itu sendiri. Di tengah defisit anggaran akibat dampak melemahnya ekonomi dunia, biaya pembangunan dan renovasi gedung pemerintah dan fasilitas umum yang dirusak massa tentu akan kian menambah berat beban APBN kita. Itulah harga amarah yang harus kita bayar.
Belum lagi mempertimbangkan dampak psikologis dari aksi kekerasan dan brutalitas yang secara vulgar tersaji di ruang-ruang privat kita. Rekaman video perusakan, pembakaran, dan penjarahan tersebar luas melalui media sosial, disebarkan berantai di grup-grup WA, dan seringkali tanpa sengaja sampai ke anak-anak kita.
Anak-anak dipaksa mengonsumsi pemandangan tragis sekaligus brutal yang menggambarkan bagaimana kemarahan massa meledak menjadi aksi destruktif. Pemandangan brutal itu akan masuk ke alam bawah sadar anak-anak kita dan menimbulkan trauma psikologis yang sukar dihilangkan. Bukan tidak mungkin, pengalaman yang terekam itu akan diduplikasi di masa depan ketika anak-anak tumbuh dewasa.
Yang paling mengerikan dari semua itu adalah kekhawatiran bahwa anak-anak kita akan memiliki keyakinan bahwa masyarakat Indonesia itu pemarah, emosional, dan brutal. Jika itu terjadi, maka tindakan kekerasan dan brutalitas akan dinormalisasi bahkan diglorifikasi.
Generasi yang hidup dan menyaksikan kerusuhan 1998 pasti sedikit banyak mengalami trauma psikologis dan historis yang terbawa sampai saat ini. Ingatan akan kerusuhan massa di Jakarta dan kota-kota lainnya begitu membekas sampai saat ini. Menyisakan semacam pertanyaan, apakah kita memang bangsa yang beringas?
Trauma psikologis itu kiranya jangan sampai dirasakan generasi saat ini. Maka, penting kiranya bagi semua pihak untuk menahan diri. Demonstrasi massa yang dilakukan di sejumlah daerah sudah berjalan terlalu jauh sampai lupa kembali. Perusakan, pembakaran, penjarahan oleh massa itu adalah bukti bahwa aksi demonstrasi kita berjalan terlalu jauh sampai lupa esensi atau tujuan awalnya.
Kita tidak boleh membiarkan situasi penuh chaos ini terus terjadi. Dampak ekonomi dan psikologinya akan lebih mahal dan berat. Rasa aman adalah syarat utama agar mental atau psikologi masyarakat sehat. Stabilitas nasinal adalah jaminan agar roda ekonomi tetap berputar. Kerusuhan hanya akan menimbulkan kepanikan massa. Dan di tengah kepanikan itu, terbuka celah bagi musuh-musuh negara untuk bangkit.
Maka, sudah seharusnya kita menahan amarah kita. Jangan sampai amarah kolektif itu menelan anggaran yang seharusnya bisa untuk beasiswa anak sekolah, subsidi kesehatan, atau pemberdayaan masyarakat. Menahan amarah kolektif pada dasarnya sama dengan menjaga keberlanjutan pembangunan negara. Mari kita gunakan energy kita untuk hal konstruktif.
Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…
Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…
Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…
Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…
Di tengah puing-puing dan reruntuhan bangunan pasca demo, ada gelombang besar semangat yang mempersatukan seluruh…
Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi, tetapi tragedi yang menyertainya sering kali menorehkan luka…