Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Namun, momentum kemarahan massa sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyusupkan agenda lain yang mengancam keamanan dan kedamaian, seperti memprovokasi untuk melakukan kekerasan, kerusuhan dan merusak fasilitas publik. Akibatnya, esensi dan tujuan murni dari demonstrasi itu sendiri sering terkikis.
Hal ini sudah terlihat saat terjadi pembakaran, pengrusakan, hingga penjarahan. Dalam menghadapi dinamika di lapangan, kemampuan mengenali dan menolak provokasi adalah kunci agar demonstrasi tetap berada di jalur damai dan efektif. Tuntutan dan aspirasi yang disuarakan mesti menjadi fokus agar didengar dan ditindaklanjuti oleh pemerintah demi Indonesia yang lebih baik.
Di tengah situasi saat ini, penting untuk mengenali pertanda dan gejala-gejala yang mengarah pada provokasi dan kekerasan. Berikut adalah beberapa tips penting yang bisa menjadi panduan untuk mewaspadai provokasi di tengah demonstrasi:
Tuntutan perubahan harus disuarakan dengan cara yang konstruktif, bukan destruktif. Aksi-aksi provokatif seperti pembakaran ban, pelemparan batu, perusakan fasilitas umum, atau penjarahan sering kali bukan bagian dari agenda utama demonstran, melainkan disusupkan oleh pihak-pihak yang ingin menunggangi massa untuk agenda tertentu.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk selalu waspada dan memperhatikan situasi dan perilaku tidak biasa saat demonstrasi berlangsung. Provokator seringkali tidak datang dari kelompok demonstran inti yang terorganisasi. Mereka bisa saja datang belakangan, tiba-tiba muncul di barisan terdepan, atau bertindak secara mencolok untuk memicu kerusuhan.
Narasi provokasi biasanya mengajak untuk melakukan tindakan anarkis secara tiba-tiba, tanpa komando atau alasan yang jelas. Contohnya, ajakan untuk “bakar,” “serang,” atau “masuk paksa” ke dalam gedung. Tuntutan murni biasanya diatur dalam komando yang jelas dan terencana.
Jika melihat ada yang memulai tindakan anarkis, segera menjauh dari area tersebut. Fokuskan energi pada orasi, nyanyian, atau penyampaian aspirasi dan tuntutan secara tertib. Pimpinan aksi yang bertanggung jawab biasanya akan mengimbau massa untuk tidak terprovokasi dan menjaga ketertiban.
Fokus menuntut ke “atas”, jangan terprovokasi menyerang sesama warga. Tuntutan dalam demonstrasi sudah semestinya fokus pada isu-isu substantif yang bersifat vertikal, yaitu mengevaluasi berbagai kebijakan atau kinerja pemerintah. Sering kali, provokator akan mencoba mengalihkan fokus ini menjadi konflik horizontal di antara sesama masyarakat.
Maka dari itu, penting untuk mengidentifikasi isu-isu kebencian. Narasi provokatif sering menggunakan isu sensitif seperti etnis, agama, atau antargolongan untuk memecah belah massa. Misalnya, mereka akan menyuarakan kebencian terhadap kelompok tertentu, yang sama sekali tidak relevan dengan tuntutan utama demonstrasi. Tujuannya agar soliditas dan solidaritas masyarakat atau demonstran terpecah dan terkikis, sehingga aspirasi yang disuarakan tak lagi kuat.
Salah satu hal yang bisa menjadi penanda profokasi adalah berbagai slogan dan artribut yang dibawa. Provokator dapat membawa spanduk atau atribut yang berisi kalimat-kalimat provokatif atau menghina kelompok tertentu. Slogan ini biasanya tidak ada dalam daftar tuntutan resmi yang disepakati demonstran.
Selain itu semua, sangat penting untuk terus menjaga soliditas dan solidaritas antarwarga. Ingat, tujuan demonstrasi adalah persatuan, bukan perpecahan. Jika kita melihat atau mendengar narasi kebencian, segera berjarak dan fokus kembali pada narasi utama aksi. Solidaritas demonstran yang kuat akan menjadi tembok penghalang bagi provokasi.
Tak bisa dipungkiri bahwa di era digital dan media sosial saat ini, provokasi tidak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga merajalela di dunia maya. Sering kali, kerusuhan fisik dipicu oleh narasi yang telah disebarkan secara online sebelum, saat, atau setelah demonstrasi.
Oleh karena itu, jangan gampang percaya dengan konten-konten provokasi yang memantik emosi. Provokator online sering menggunakan foto atau video dari peristiwa lain, atau bahkan bukan tidak mungkin kini mulai memanfaatkan AI atau deepfake untuk memicu kemarahan. Maka, sangat penting untuk selalu cek keaslian foto dan video yang beredar. Gunakan mesin pencari gambar atau cek tanggal unggah konten.
Di era media sosial dan derasnya arus informasi seperti sekarang, penting untuk melakukan verifikasi sumber informasi. Setiap informasi yang beredar harus dicari sumber aslinya. Apakah berasal dari media terpercaya atau hanya dari akun anonim? Narasi provokatif sering kali disebarkan oleh akun-akun palsu (bot atau fake account).
Dengan memahami dan mewaspadai narasi provokasi, para demonstran dapat melindungi diri, menjaga esensi perjuangan, dan memastikan bahwa aspirasi dan tuntutan dapat didengar dengan jelas serta tersampaikan, bukan tenggelam dalam kebisingan anarkisme.
Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…
Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…
Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…
Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…
Di tengah puing-puing dan reruntuhan bangunan pasca demo, ada gelombang besar semangat yang mempersatukan seluruh…
Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi, tetapi tragedi yang menyertainya sering kali menorehkan luka…