Narasi

Hari Pahlawan dan Jihad Menjaga Persatuan

Pada 10 November 75 tahun lalu, terjadi perang besar-besaran di Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang yang mengakibatkan banyaknya pejuang-pejuang Indonesia yang telah berjihad menjaga kemerdekaan bangsa berguguran; ribuan rakyat menjadi korban. Momentum penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI ini, selanjutnya kita peringati setiap tahunnya sebagai hari pahlawan.

Dalam konteks tersebut, jelas bahwa perjuangan mereka bukan hanya perjuangan untuk kepentingan kelompok orang semata, namun perjuangan mereka adalah sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI. Mereka rela menempuh jalan bahaya dengan mengorbankan jiwa dan raga guna membebaskan NKRI dari belenggu penjajahan. Tentu saja, sebagai bangsa yang besar, kita perlu menghargai jasa-jasa pahlawan. Kita perlu menerapkan sikap patriotisme seperti para pahlawan. Ini diwujudkan melalui tindakan nyata kita sehari-hari dengan senantiasa junjung tinggi sebagai motivasi dalam membangun sebuah bangsa.

Keutuhan NKRI

Perlu dipahami, sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru hingga demokratisasi yang bermula dari reformasi 1998, kita telah melalui sejarah panjang yang mengancam persatuan dan keutuhan NKRI. Mulai dari pertarungan ideologi, gesekan kepentingan, benturan fisik, kekerasan, sampai konflik yang terkadang mengerdilkan rasionalitas dan sikap empati kita dalam menghargai perjuangan para tokoh-tokoh bangsa.

Saat Bung Karno jatuh dari tampuk kekuasaan yang menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, presiden pertama itu seperti terseok-seok dalam lorong sunyi kesejarahan bangsa ini. Begitu juga ketika Soeharto dilengserkan gerakan mahasiswa 1998 karena sentralisasi kekuasaan dan praktik otoritarian. Hingga semua yang berbau Soeharto dan Orde Baru kemudian “dikutuk” sebagai musuh bersama.

Tak hanya itu, bahkan Pancasila sebagai dasar negara juga sering kali kita jadikan korban atas ketidakdewasaan pola pikir kita dalam memaknai perubahannya. Hingga kini, Pancasila seolah menjadi dasar negara tersandera, jarang diucapkan, dikutip, apalagi dijadikan rujukan pemikiran dan inspirasi bangsa karena dinilai sebagai warisan kuno.

Tak heran, beragam persoalan kini mengancam keutuhan NKRI. Hal ini didasari oleh adanya spirit kebangsaan yang utuh memahami dasar negara yang dipunyai. Hingga, stigma-stigma negatif justru malah menyasar pada dasar negara yang telah menggali secara utuh filosofi kebinnekaan Republik Indonesia.

Rekonsiliasi Kebangsaan

Dalam rangka jihad menjaga keutuhan dan persatuan NKRI, kita mesti melakukan rekonsiliasi kebangsaan. Dalam artian, kita harus berdamai dengan ego yang mengancam persatuan dan keutuhan NKRI sembari terus berbenah untuk membangun masa depan. Jangan sampai atas catatan sejarah kelam ketidakmampuan kita dalam menafsirkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru kita ungkit-ungkit dan jadikan bumerang untuk menyerang sendi-sendi persatuan dan kesatuan NKRI. Karena, NKRI adalah harga mati yang harus kita bayar atas jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Lebih lanjut, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan dalam upaya jihad menjaga persatuan bangsa. Pertama, kita perlu menumbuhkan sikap saling menghargai antar sesama. Memperlakukan warga-warga lain dalam masyarakat secara setara tanpa membeda-bedakan. Hal ini karena,  Indonesia terdiri dari bermacam-macam ras, suku, beraneka agama dan kepercayaan,  dengan pandangan tentang perilaku baik yang tidak sepenuhnya sama. Kalau tidak ada sikap menghargai perbedaan, bagaimana bisa keberagaman yang kompleks itu akan berdamai dalam bingkai NKRI.

Oleh karena itu, agar terjadinnya kehidupan yang harmonis perlu dikembangkan sikap tengang rasa dalam diri setiap orang perlu ditumbuhkan solidaritas kebangsaan. Suku-suku dan komunitas-komunitas yang hidup dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai latar belakang agama, kepercayaan dan kebudayaan masing-masing, harus kita pandang sebagai saudara-saudara sebangsa dan setanah air.  Kita harus mengembangkan kebiasaan untuk saling menghormati dan saling memperlakukan sebagai saudara, sebagai pihak-pihak yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Kedua, membiasakan diri dengan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sudah mafhum, bahwa setiap manusia memiliki beragam kepentingan. Namun, kadang kala manusia lupa bahwa kepentingannya, dibenturkan oleh kepentingan orang lain. Hingga, ia sering juga menerapkan prinsip Machievellian – melakukan segala cara, demi tercapainya kepentingannya. Padahal, hal tersebut bisa jadi mencederai spirit kebersamaan. Orang yang merasa tersaikiti, karena hak dan kepentingannya telah dilanggar, bisa jadi marah dan melakukan tumpah darah dengan sesama saudara se-Tanah Air. Ini tentu bukanlah hal yang kita idam-idamkan.

Disinilah kita diuji. Sejauh mana kita mampu mempertahankan keutuhan NKRI di tengah permasalahan yang kian kompleks. Jika para pahlawan terdahulu mampu menyatukan tekad memperjuangkan kemerdekaan NKRI, maka tugas kita sekarang sebagai pewarisnya, hanyalah berbenah sembari menjaga persatuan dan keutuhannya. Kalau kita tidak mampu, betapa durhakanya kita kepada para pahlawan yang telah memperjuangkannya.Selamat Hari Pahlawan!

This post was last modified on 10 November 2020 12:47 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

20 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

20 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

21 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago