Narasi

Hari Pancasila: Napak Tilas, dan Refleksi-Refleksi Kebangsaan

Besok, 01 Juni 2021 kita kembali akan merayakan Hari Pancasila; sebuah hari dimana ideologi kebangsaan kita dilahirkan sebagai dasar dan pijakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Baik dari aspek sosial, ekonomi, politik hingga kebudayaan juga, tentunya.

Peringatan Hari Pancasila tahun ini tentu kurang tepat jika tidak kita awali dengan rasa syukur. Artinya, sebagai warga negara Indonesia sudah sepantasnya kita bersyukur sedalam-dalamnya atas anugerah lahirnya Pancasila ini. Sebab, dengan lahirnya Pancasila pada 01 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa, kita pun menemukan pedoman khusus untuk menjalani kehidupan ini dengan pijakan yang jelas dan kongkrit.

Napak Tilas Pancasila

Dalam sejarahnya, Pancasila sebagai rancangan ideologi yang hendak dijadikan ideologi negara tak luput dari tantangan. Bahkan, diawal-awal pembentukannya, Pancasila sempat menimbulkan resistensi di kalangan founding father.

Hal itu terjadi karena adanya ketidaksepahaman pikiran di antara mereka. Ada yang pro dengan Pancasila, demikian pun juga ada yang kontra. Jadi, pada saat itu, sederhananya, para founding father kita terpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang pro Pancasila dan kontra Pancasila.

Kelompok kontra Pancasila ini memilih Islam sebagai ideologi negara. Menurut kelompok ini, Islam adalah agama yang juga bisa dijadikan ideologi negara sekaligus. Namun, gagasan ini juga ditentang oleh kelompok nasionalis pro gagasan Pancasila.

Namun, singkat kata, pada akhirnya, negosiasi pada awal Agustus 1945 yang dilakukan oleh Soerkarno dan Hatta sebagai wakil kelompok nasionalis dan KH. Wahid Hasyim sebagai wakil kelompok Islam pun terjadi. Dan bersepakat untuk menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Refleksi #1: Islam dan Pancasila Menolak Khilafah

“Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain” (Kiai Ahmad Siddiq, dalam NU vis-à-vis Negara, Robert W. Hefener, 2017). Begitulah Islam dan Pancasila menurut para ulama dan kiai. Keduanya dianggap sebagai dua elemen penting yang saling berkelindan dan menjiwai satu sama lain.

Oleh karena itu, adalah tidak etis bila hari-hari ini kita masih kerap kali menyaksikan upaya membenturkan Islam dan Pancasila sebagai elemen yang bertentangan. Sebenarnya, mayoritas masyarakat kita sudah sepakat dan menerima Islam dan Pancasila ini. Namun, sebagian kelompok, sebut saja Wahabi dan kelompok pengusung khilafah masih terus saja membangun opini bahwa Islam dan Pancasila bertolak belakang, dan menawarkan khilafah dan seperangkat ideologi politiknya sebagai solusi.

Tersebab itu, di hari dan bulan bersejarah lahirnya Pancasila ini, perlu kembali kita tegaskan kembali bahwa Pancasila adalah kesepakatan final sebagai ideologi bangsa yang tidak bertentangan dengan Islam. Posisinya, Islam sebagai agama, Pancasila sebagai Ideologi, dan tidak ada tempat bagi khilafah. Yang artinya, Islam dan Pancasila itu menolak khilafah dengan semua kepentingan politisnya.

Refleksi #2: Momentum untuk Menguatkan Persatuan

Menurut KBBI V, “persatuan adalah gabungan (ikatan, kumpulan, dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu”. Jadi, dengan kata lain, persatuan itu bisa dimaknai sebagai penyatuan pikiran, cipta, rasa dan karsa untuk menjadi satu dengan segala keberagaman guna mencapai cita-cita bersama. Dalam sejarah Indonesia, persatuan adalah modal penting dalam perjuangan mencapai Indonesia merdeka.

Namun, pada konteks hari ini, terutama akibat polarisasi Pilres 2019 terpecah-pecah menjadi entitas yang bermusuhan. Istilah yang sampai hari ini masih melekat adalah istilah Cebong dan Kampret yang digunakan satu dan lainnya untuk saling mengolok-olok. Dan tanpa kita sadari hal itu telah merongrong rasa persatuan kebangsaan kita.

Bahkan, dalam konflik Palestina-Israel, masyarakat kita juga terpecah menjadi blok-blok yang satu sama lain saling bom komentar dan cacian. Kondisi ini sungguh miris. Seharusnya, sebagai bangsa yang multikultural, hal-hal semacam tidaklah terjadi.

Sebab itu, di hari lahir Pancasila kali ini, maka polarisasi politik, dan balok-balok yang saling serang menyerang ini sudah seharusnya pelan-pelan dan tensinya kita kurangi. Karena, pedoman hidup berbangsa dan bernegara kita, yakni Pancasila, pada butir ketiga sudah menegaskan bahwa “persatuan dan kesatuan” harus selalu kita jaga. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.            

Akhirnya, Selamat Hari Pancasila, jagalah persatuan dan kesatuan, dan tanamkan bahwa Islam dan Pancasila ada dalam satu tarikan nafas kemaslahatan, keadilan dan kemanusiaan. Dan, selama Pancasila ada, tetap tak ada tempat bagi khilafah.

This post was last modified on 31 Mei 2021 3:59 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

22 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

22 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

22 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago