Beberapa tahun yang lalu tepatnya sekitar tahun 2003-2005 konflik Darfur di Sudan Barat menjadi isu internasional. Bukan saja pemerintah setempat yang sering berkunjung ke sana akan tetapi juga pemimpin-pemimpin dunia seperti, Presiden AS, Bill Clinton, Menlu AS, Collin Powel, Sekjen PBB, Kofi Annan juga pemimpin-pemimpin organisasi internasional dan regional seperti OKI juga berkunjung ke wilayah tersebut untuk mengetahui situasi yang dikabarkan oleh media sebagai konflik terbesar pada saat itu, karena hampir ratusan ribu korban meninggal setiap saat akibat konflik antar suku yang kadang sporadis sehingga dinilai sebagai ethnic cleansing atau genosida.
Perhatian dunia tertuju ke wilayah tersebut, yang akhirnya PBB mengeluarkan Resolusi melarang terbang di atas udara Darfur. Akibat konflik ini, tidak kurang dari 500 NGO atau INGO yang terjun ke wilayah itu untuk turut memberikan bantuan kemanusiaan baik di bidang medis maupun pangan. Darfur tiba-tiba menjadi pusat perhatian para INGO dan NGO di dunia mulai dari negara-negara Barat, Arab sampai Asia bahkan hampir semua negara termasuk negara-negara Afrika memiliki NGO yang turut serta memberikan bantuan pangan dan teknis serta pangan di lapangan untuk mengurangi beban rakyat Darfur.
Konflik yang terjadi bukan karena etnis agama, bukan juga karena ras suku, akan tetapi semata-mata karena konflik perebutan lahan pertanian yang kemudian berkembang menjadi konflik komunal yang menuntut pemerintah untuk memperlakukan rakyat Darfur sama dengan rakyat Sudan lainnya yang hidup di wilayah lainnya di Sudan. Gerakan pemberontakan pun bermunculan dengan berbagai nama dan latarbelakang sehingga sulit mengetahui jumlahnya. Bahkan PBB sendiri sulit mendeteksi nama-nama pemberontak dan pimpinannya sama seperti kondisi Suriah dan Irak saat ini dimana bermunculan sejumlah faksi yang sulit dideteksi kemana mereka berafiliasi dan kepada siapa dia berjuang.
Dari 500 lebih INGO dan NGO yang beroperasi di Darfur, ada yang masuk secara legal atau resmi ada juga yang masuk secara ilegal. Mereka yang masuk secara ilegal umumnya melalui negara-negara tetangga atau bekerjasama dengan INGO atau NGO yang ada di negara tetangga Sudan. Pola kerjanya umumnya membawa agenda-agenda tersendiri dan jenis bantuannya pun tidak murni ditujukan kepada korban perang akan tetapi sengaja di lempar ke sarang-sarang pemberontak yang kemudian menjadi logistik kelompok-kelompok pengacau atau pemberontak. Bahkan sering kali mengirim alat-alat persenjataan yang dikemas bersama dengan pangan yang tujuanya memperkeruh situasi. Sementara INGO atau NGO yang masuk secara legal umumnya bekerja secara profesional karena dikoordinir oleh otoritas yang telah ditunjuk oleh pemerintah yang resmi untuk mendistribusikan bantuan-bantuan kemanusiaan sesuai sasaran yang dituju.
Indonesia sendiri tidak pernah mengirim bantuan ke Darfur melalui NGO atau INGO yang resmi di Indonesia karena pemerintah Indonesia menyadari bahwa mengirim bantuan ke wilayah yang sedang konflik rawan masalah, karena bisa saja bantuan tersebut jatuh ke tangan mereka yang melawan pemerintah dan dapat berujung fitnah kepada pemerintah dan rakyat Indonesia. Indonesia pernah memberikan bantuan tetapi murni melalui pemerintah secara sah dan penyalurannya pun sesuai sasaran sehingga memberikan dampak yang sangat positif bagi rakyat dan pemerintah Indonesia. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian INGO yang tidak mengikuti prosedur dalam memberikan bantuan kepada warga Darfur dengan melalui pihak ketiga di negara tetangga yang akhirnya diusir dan dikomplain oleh pemerintah sebagai INGO yang justru memperuncing masalah di Darfur.
Kasusk-kasus penyaluran bantuan ke wilayah konflik seperti di Darfur dan di beberapa wilayah konflik lainnya tidak akan berbeda dengan bantuan yang diserahkan ke wilayah konflik di tempat lain seperti Aleppo karena kondisi di lapangan tidak berbeda dengan wilayah konflik lainnya. Dimana bantuan yang diberikan sering kali jatuh ke tangan pemberontak atau oknum-oknum yang tidak diinginkan. Dampaknya tentu akan kembali kepada siapa yang mengirimkan bantuan tanpa melihat niatnya.
Ukhuwah Islamiyah dan prihatin dengan sesama memang kewajiban bagi setiap pemeluk agama bahkan mereka yang tidak prihatin dengan sesamanya menurut ajaran Islam bukanlah umat Nabi Muhammad Saw. Namun dinamika kehidupan dalam sebuah konflik sering kali berbeda dengan yang diduga. Niat baik tidak selamanya mujur, apalagi jika dilakukan secara tidak fair. Bahkan bisa saja berakibat fatal dan tidak seperti yang diharapkan. Karena itu, selalulah hati-hati dan tetap memiliki perencanaan dan koordinasi yang baik dengan pihak yang berwenang karena kita hidup dalam sebuah sistem yang harus dipatuhi. Wallahu a’lam
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…