Narasi

Heboh Syuhada Hiu Kencana

Musibah tenggelamnya KRI Nanggala-402 berikut 53 prajurit TNI menimbulkan reaksi keagamaan berbeda di kalangan masyarakat. Umumnya mendoakan agar para awak kapal dicatat sebagai syuhada berikut dengan memberikan doa serta shalat ghaib. Namun, ada sebagian yang justru mencibir dan membandingkan (syuhada) bunuh diri.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh mengucapkan, “”Korban KRI Nanggala-402 yang teridentifikasi sempat salat berjemaah sebelum menjalankan tugas kedinasan dan tugas negara, karenanya mereka termasuk syuhada,”

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, “”Semoga, mereka semua tercatat sebagai syuhada dan pejuang bangsa. Keluarga mereka senantiasa diberi kesabaran dan ketabahan,”

“Para prajurit putra terbaik bangsa yang tanpa lelah terus menjalankan tugas mulianya dalam menjaga kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga arwah para awak kapal selam KRI Nanggala-402 teracatat sebagai syuhada dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala Tuhan Yang Maha Kuasa,” ucap Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga mantan Ketua Umum MUI.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan,  “Mereka adalah para patriot bangsa yang telah berjuang dan berkorban untuk kepentingan negara. Mereka adalah para syuhada yang memberikan darma baktinya untuk Indonesia,”

Melalui surat resmi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan duka cita yang mendalam atas gugurnya para syuhada KRI Nanggala 402 yang dinyatakan subsunk (tenggelam). Berkaitan dengan hal tersebut, PBNU menginstruksikan kepada seluruh pengurus wilayah, pengurus cabang, pengurus lembaga Nahdlatul Ulama, Pengurus Badan Otonom Nahdlatul Ulama, serta seluruh warga Nahdliyyin se-Indonesia agar menyelenggarakan Shalat Gaib dan Tahlil ditujukan untuk para korban yang meninggal dalam musibah tersebut.

Penyebutan syuhada para pejuang yang mati tenggelam bukan tanpa dasar, terdapat banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang menyebutkannya, di antaranya adalah sabdanya, “Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim).

Kendati demikian, masih ada kelompok masyarakat yang seakan tidak memiliki rasa duka cita sama sekali terhadap musibah ini. Jangankan mendoakan mereka mati syahid, banyak yang menghujat bahkan berpendapat bahwa musibah ini merupakan azab lantaran dosa-dosa manusianya. Sungguh musibah bisa saja disebabkan oleh tangan-tangan manusia, namun tidak selamanya musibah adalah azab namun juga ujian. Musibah sudah ditetapkan Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23).

Sehingga dari sini, sudah sepantasnya kita mendoakan kepada para korban agar mereka diampuni segala dosa-dosanya. Kita juga bisa melakukan shalat gaib yang notabene merupakan kefardukifayahan seluruh umat muslim. Dengan begitu, manfaat yang didapat bukan hanya para korban namun juga para keluarga akan merasa lebih terhibur.

Jangan sampai dengan adanya musibah ini justru membuat gaduh suasana, dengan mengarahkan opini publik bahwa penderitaan merupakan hukuman Tuhan kepada yang tertimpa. Dengan ini hanya akan memberikan beban berat kepada keluarga dan hubungan tali persaudaraan akan semakin terputus.Wallahu a’lam.

This post was last modified on 27 April 2021 1:05 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago