Narasi

Hijrah Kebangsaan dan Refleksi “Tiga Simbol” 17 yang Terhubung

Menurut Habib Husein Ja’far Al Hadar, sejatinya ada tiga macam 17 yang tidak boleh dilupakan dan harus selalu kita ingat dan kita wajib mencintainya. Pertama, 17 rakaat sehari, yaitu ibadah Shalat yang harus kita tidak boleh lupa dan harus selalu konsisten untuk beribadah kepada-Nya. Kedua, 17 Ramadhan, yaitu hari bagaimana kitab suci Al-Qur’an diturunkan. Maka kita harus selalu mencintai dan mengamalkan kebaikan yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Ketiga, 17 Agustus 1945, yaitu hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Kita harus selalu mengingat dan mencintainya NKRI. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mencintai kota Makkah dan Madinah sebagai tanah airnya.

Ketiganya ada semacam integrasi-interkoneksi bagaimana hari spesial itu terbentuk. Karen pada tanggal 17, ada persamaan peringatan antara nilai-nilai keislaman dan kenegaraan yang harus kita cintai dan tidak boleh dilupakan. Dari makanan rohani sekaligus refleksi nasionalisme.

Mengamalkan shalat setiap hari untuk menghentikan sifat-sifat kemurkaan dan menjadikannya Al-Qur’an sebagai pedoman untuk menasihati diri dan sekaligus merefleksikan kemerdekaan yang diperjuangkan para Pahlawan dengan darah dengan mencintai NKRI. Tiga simbol 17 ini wajib menjadi kesadaran kita. Beragama sekaligus bernegara. Kesadaran rohani transenden sekaligus kesadaran nasionalisme.  

Baca juga : Hijrah Kebangsaan ; Menangkal Pemahaman Radikal dengan Meneladani Perilaku Rasulullah

Sebagaimana Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dari Makkah menuju ke Madinah. Beliau menciptakan semangat Islam untuk tatanan manusia dengan membentuk kota yang Madani. Bukan untuk menghancurkan umat manusia itu sendiri. Membangun persatuan dan menyatakan kesepakatan untuk memberikan hak-hak saling menghargai antar umat beragama serta membangun kebersamaan untuk membangun sebuah kota yang gemilang.

Jika kita konteks-kan semangat hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut. Sebagaimana pesan Habib Husein Ja’far Al Hadar. Bahwa kita harus selalu mengingat, mencintai dan mengamalkan tiga 17. Yaitu 17 rakaat shalat dalam sehari. Kedua, 17 Ramadhan sebagai turunnya Al-Qur’an. Ketiga, 17 Agustus 1945, yaitu hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang harus selalu kita ingat, kita jaga dan kita cintai bersama-sama di negeri ini agar terhindar dari kehancuran.

Maka sebetulnya apa yang disampaikan oleh Habib Husain Ja’far Al Hadar memiliki integrasi-interkoneksi yang sangat kuat untuk kita bisa hijrah dari kesadaran sempit dalam beragama misalnya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang sangat mencintai masyarakat Makkah dan Madinah. Sehingga ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau membawa satu misi yaitu membawa nilai-nilai keislaman untuk tatanan umat manusia di dalam mencapai peradaban bangsa yang gemilang bisa terbentuk dengan baik. Maka lahirlah kota Madinah yang menjadi titik awal sekaligus kebangkitan peradaban dunia pada saat itu.

Relevansi kita hijrah tentang kebangsaan adalah mengubah pola pikir kita yang sempit menjadi lebih kritis. Mengubah kesadaran tentang kesukuan menjadi kesadaran nasionalisme persatuan antar suku-suku. Sekaligus ada tiga 17 yang harus kita amalkan dan kita selalu setia untuk mencintainya. Maka di situlah letak ijtihad untuk menguraikan substansi keislaman untuk memberikan rahmat. Menampakkan wajah Islam yang membumikan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Karena kita ketahui bersama bahwa shalat merupakan satu nilai spiritualitas Islam yang menjadi tendensi kebatinan seseorang untuk bisa berubah dan terbebas dari angkara murka. Begitu juga tentang turunnya Al-Qur’an sebagai pesan Ilahi untuk mencerahkan umat Manusia menuju kebaikan-kebaikan dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu juga tentang kemerdekaan bangsa Indonesia yang harus kita jaga dan kita konsisten mencintainya. Sebagaimana Rasulullah SAW juga mencintai kota Makkah dan Madinah sebagai tanah airnya.

This post was last modified on 19 Agustus 2020 4:00 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

5 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

5 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

5 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

5 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

5 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

6 hari ago