Narasi

Hijrah untuk Perdamaian dan Menghindari Perang

Kini semakin marak, fenomena anak-anak muda yang terprovokasi hijrah untuk ikut berperang. Mereka, umumnya merupakan out put hasil dari program propaganda kaum radikal. Mereka lupa, bahwa Rasulullah Saw. telah memberikan pelajaran berharga, bahwa hijrah merupakan pilihan untuk menciptakan perdamaian di tempat yang baru dan menghindari peperangan. Perang, pada hakikatnya merupakan tanda bahwa dua kubu gagal membangun komunikasi damai untuk saling bernegoisasi. Sedangkan, Rasulullah Saw. selalu berusaha menghindari peperangan. Dalam memoar sejarah, Rasulullah Saw. berperang dalam rangka mempertahankan diri untuk mengibarkan kejayaan Islam.

Maka, jika banyak pihak menyulut semangat hijrah ke daerah perang, dapat dipastikan bahwa ajakan itu akan menyesatkan. Hijrah seharusnya mencipta perdamaian, dan bukan menyulut spirit peperangan yang justru akan membakar tatanan kemanusiaan.  Ketika propaganda pro agitasi terus disebarluaskan, maka kita pun harus tegar menyuarakan makna hijrah yang telah diteladankan oleh Rasulullah Saw. Jangan sampai, generasi kita mendapat pengetahuan yang salah mengenai hijrah, semisal kisah bocah asal Indonesia yang menjadi petarung ISIS dan kemudian wafat.

Berdasarkan perspektif psikologi, sikap dibentuk atas tiga komponen dasar, yakni pengetahuan (knowledge), like and dislike (suka tidan suka), dan niatan untuk melakukan. Agar tak terulang kesalahan persepsi mengenai hijrah, maka kita perlu mengetahui esensi hijrah (yaitu perdamaian), suka terhadap nilai-nilai kearifan dan kebijakan Rasulullah Saw., serta berniat membangun perdamaian dalam dimensi masa kini dan futuristik.

Hijrahnya Rasulullah Saw. bersama para sahabat ke Madinah, sungguh memiliki dimensi historis dan spiritual yang mendalam. Memilih Madinah sebagai kawasan untuk berhijrah, tentu bukan pilihan yang didasarkan pada pertimbangan acak. Di Mekkah, Rasulullah Saw. mendapat kebencian bertubi-tubi. Bahkan, umat Islam pun mendapat tekanan dan ancaman serta tindak kekerasan. Demi menghindari peperangan di Mekkah, maka Rasulullah Saw. berhijrah.

Rasulullah Saw. berhijrah dalam rangka melaksanakan perinrah Allah Swt. untuk berjihad di dalamnya, agar agama Islam dapat mencapai tingkat kesempuranaan dan kedaulatannya dapat berdiri. Madinah telah mempersiapkan diri untuk melaksanakan semua ini (Abdurrahman Yakub, 2014). Untuk berhijrah, memang tidak mudah. Rasulullah Saw. dan orang-orang beriman harus meninggalkan harta, bahkan keluarga (yang belum memeluk Islam). Akan tetapi kabar bahagia, masyarakat Madinah yang juga populer disebut sebagai kaum Anshar begitu antusias menyambut kehadiran Rasulullah Saw. dan para sahabat.

Hijrah, dengan demikian telah menambah persaudaraan dan menghangatkan iklim perdamaian. Rasulullah Saw. pun membangun dasar-dasar masyarakat madani bersama para sahabat, di Kota Madinah Al Munawwarah. Keberhasilan membangun masyarakat madani, tak lepas dari iklim perdamaian yang diciptakan oleh kaum muhajirin dan kaum anshar. Dan meski ada rindu terhadap tanah kelahiran, Rasulullah Saw. dan para sahabat bersyukur dapat menjalin perdamaian di Madinah, sekaligus menghindari peperangan di Mekkah.

Begitulah, pesona akhlak agung Rasulullah Saw. begitu indah. Beliau tidak ajarkan mendahului berperang. Sedapat mungkin Rasulullah Saw. menghindari perang untuk mencipta perdamaian. Pada momentum tahun baru hijriah inilah, kita mesti merenungkan dan menggali kisah-kisah humanis Rasulullah Saw. dalam berhijrah dan membangun perdamaian di atas perbedaan budaya, kaum muhajirin dan anshar. Perlu kita garis bawahi bersama, bahwa hijrah harusnya menciptakan perdamaian, dan bukan untuk peperangan.

Kita mesti bersyukur, masyarakat Indonesia tentram dan bukan daerah rawan peperangan. Maka, tak perlu kita hijrah ke negeri yang dipenuhi kebencian dan peperangan. Mari kita ciptakan tatanan Islam damai dan masyarakat madani, seperti yang telah dilukiskan oleh Rasulullah Saw., dalam sejarah kejayaan Islam. Di Indonesia, perang tak selalu bersifat fisik. Perang pemikiran, dan adu domba bak virus yang telah menyebar dan mencipta wabah permusuhan kronis. Oleh karenanya, kita harus berhijrah. Kita perlu berusaha mencipta perdamaian dan menghindari segala macam bentuk perang yang hanya menebar kebencian, bahkan fitnah. Wallahu’alam.

This post was last modified on 22 September 2017 3:13 PM

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago