Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Samangsa keneng musibat
Wong hambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angurbaya ngiketa cariteng kuno
—Serat Kalatidha, Ronggawarsita
Wabah Corona yang hampir dua tahun ini menjadi fenomena tersendiri dalam kehidupan sebagian besar orang, telah mengubah banyak tatanan yang sebelumnya seolah berjalan secara mapan. Tak kurang dari dunia politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan bahkan agama terpaksa menyesuaikan diri dengan keadaan. Demikian pula dalam dunia radikalisme-terorisme yang ternyata juga mengubah wajahnya ketika wabah Corona melanda.
Belum lama ini kepala BNPT, Boy Rafli Amar, mengungkapkan bahwa justru di saat wabah Corona ini terdapat peningkatan aktivitas terorisme di dunia maya. Mereka melakukan perekrutan dan pendanaan secara daring. Selama wabah Corona ini, dalam keterangannya, terjadi kenaikan transaksi keuangan yang mencurigakan yang diduga terkait dengan aktivitas terorisme. Di samping itu, feminisasi radikalisme-terorisme rupanya juga menjadi wajah baru radikalisme-terorisme kontemporer di Indonesia.
Pada tahun 2020 sebenarnya BNPT telah merilis aktivitas terorisme dalam kurun setahun belakangan yang cukup menonjol dengan adanya fenomena urbanisasi radikalisme-terorisme, feminisasi radikalisme-terorisme, dan literasi masyarakat yang rendah. Urbanisasi adalah laiknya pengkotaan radikalisme-terorisme yang sebelumnya sangat anti terhadap modernitas beserta segala pernak-perniknya. Selain dunia internet, gaya hidup mereka pun berubah menjadi semakin rapi dan steril laiknya kaum Islam revivalis yang pernah booming di Indonesia pada dekade 90an. Terkait hal ini, saya pernah menggelontorkan sebuah lelucon pada kawan-kawan aktivis kontraradikalisme-terorisme maupun para pembiak Islam Nusantara: “Kita kalah ngganteng.”
Di lapangan tampilan mereka memang cukup memikat bagi yang tak akrab dengan gaya “gelembukan” (bujuk-rayu) maupun “umukan” (omong besar) khas penjual obat di pasar. Kenapa strategi mereka terbilang efektif karena berkaitan dengan temuan BNPT poin ke-3, literasi masyarakat yang rendah. Cobalah kita sejenak menengok propaganda-propaganda di berbagai platform media sosial tentang fenomena hijrah, secara sekilas, bagi yang tak karib dengan dunia sufisme, akan menautkannya dengan sufisme. Penekanan pada Allah sebagai hal yang segala-galanya di dunia ini secara sekilas memang seperti prinsip dan laku kaum sufi yang berbagai “rahasia kehidupan mereka” memang tak tergelar di publik. Tentu kita masih ingat tentang tafsir mereka yang berusaha dikembangkan atas berbagai kebijakan pemerintah maupun ijtihad beberapa ormas keagamaan mainstream di Indonesia terkait dengan wabah Corona: “Masak lebih takut pada Corona daripada Tuhan?.”
Tanpa mengurangi penghargaan saya pada para penikmat kitab al-Hikam dan para pengikut tarekat Syadziliyah, di tangan para milenial dan kalangan akar-rumput, kitab Nizamul Islam akan berasa seperti al-Hikam. Pun, kalimat thayibbah yang tertera di bendera-bendera hitam akan berasa seperti sebentuk dzikir nafi-isbat. Lebih renik lagi, ungkapan kalimat basmallah yang lazim mengawali setiap catatan wasiat bom bunuh diri akan berasa seperti wirid dengan kalimat yang serupa sejumlah 100x.
Dengan temuan BNPT, khususnya pada poin ke-3 tersebut, memang cukup pelik untuk memilah dan memilih yang mana yang benar-benar diskursus sufisme dan yang mana yang benar-benar diskursus radikalisme. Atau dengan kata lain, bagi yang tak karib, karena terpicu pula oleh kondisi mutakhir dimana arus informasi seolah menjelma bah, akan kesulitan untuk membedakan yang mana Hasan al-Bana dan yang mana Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang mana Sayyid Qutub dan yang mana Syaikh Siti Jenar. Celakanya, bagi yang tak mampu memilah dan memilih (kaum sekuler radikal), semua itu akan digebyah-uyah sebagai sebentuk radikalisme Islam.
Dapat disimpulkan di sini, kenapa justru di saat wabah Corona radikalisme-terorisme terjadi semakin massif, arus informasi memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk “lola.” Seorang pujangga kenamaan, Ronggawarsita, pernah mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi di zamannya, yang ia istilahkan sebagai “jaman edan.” Ternyata, kala itu, keadaan yang edan disebabkan oleh “pawarta yang lolawara,” kabar yang tak bertuan atau “lola” tapi dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Ada mekanisme tertentu untuk membuat orang percaya (mituhu) pada kabar-kabar atau informasi-informasi yang tak bertuan alias tak jelas sumbernya (tak dapat dilokalisir).
Dalam keadaan dimana tingkat literasi seseorang rendah (atau sengaja direndahkan dengan berbagai mekanisme), segala informasi akan disampaikan secara terbolak-balik. Maka tak ayal, populisme yang ditandai oleh kematian para ahli (the death of experts) dapat terjadi seperti saat ini. Ronggawarsita membahasakannya dengan istilah “wong hambeg jatmika kontit,” orang yang benar-benar menguasai permasalahan justru tak lagi dianggap dan berupaya dibunuh sedemikian rupa. Demikianlah, patut kita akui, bahwa kita memang kalah genteng.
Celoteh para pujangga
Menasehati dan memperingatkan
Ketika terkena musibah
Orang yang jatmika tersingkir penuh wirang
Demikian ketika mengamati
Tak ada gunanya untuk percaya
Kabar menyebar tak bertuan
Justru menjadikan lara hatiLebih baik mengikat cerita-cerita lama.
This post was last modified on 15 Juli 2021 1:09 PM
Di desa tempat tinggal saya, ada pameo begini "pemilihan lurah/kepala desa itu bisa bikin dua…
Di beberapa negara multikultur, fenomena intoleransi agama yang mengarah pada konflik sering kali menjadi ancaman…
Indonesia, dengan beragam suku, agama, dan budaya, adalah sebuah mozaik kebhinekaan yang indah. Namun, dinamika…
Indonesia sedang memasuki periode penting dalam demokrasinya dengan pelaksanaan Pilkada serentak. Momentum ini menjadi arena…
Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…
Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…