Peledakan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar seolah memberitahu kita bahwa pelurusan narasi jihad, kafir, dan thogut belum selesai. Ketiga narasi tersebut kerap dijadikan pembenaran akan aksi terorisme yang selama ini terjadi. Doktrin-doktrin kultural dengan memasukkan dalil Al-Qur’an menjadi tambahan kekuatan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan menjadi suatu kebenaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan narasi jihad, kafir, dan thogut secara besar-besaran.
Definisi thogut dapat kita ambil dari pendapat Ar-Razi, yaitu perbuatan tercela yang dapat mengalihkan manusia untuk tidak beribadah atau menyembah kepada Allah swt. Ataupun kita dapat mengambil definisi dari kisah Fir’aun, yang telah melampaui batas (thaga). Apabila merujuk pada definisi tersebut, setidaknya kita telah mendapatkan 5 bentuk thogut. (1) Setan (2) Seseorang yang memutuskan apa-apa yang diturunkan Allah (3) Penguasa zalim (4) Seseorang yang beribadah kepada selain Allah dan meridhainya (5) Seseorang yang mengaku mengetahui hal ghaib tanpa kuasa Allah.
Dari kelima definisi tersebut, dua definisi yaitu yang kedua dan ketiga sering dijadikan landasan bagi kelompok radikal. Mereka memahami bahwa penguasa yang zalim adalah mereka yang mencampurkan hukum Allah dengan hukum buatan manusia, yang dipahami ada pada UUD 1945 dan Pancasila. Kemudian mereka meyakini jika putusan ataupun pembuatan hukum didalamnya sebagai sebuah kemungkaran, karena tidak menggunakan hukum-hukum Allah swt.
Maka pemahaman seperti itulah yang menjadi dasar kelompok radikal dalam melakukan takfirisme (menuduh kafir orang lain). Jika seseorang telah dihukumi kafir, maka halal untuk dibunuh. Dan pembunuhan masal kepada orang-orang kafir, disebut sebagai jihad. 3 narasi tersebut menjadi lingkaran setan, yang membentuk watak manusia menjadi bringas, kejam, dan anti-kemanusiaan. Bahkan menyelewengkan ajaran Islam yang penuh kedamaian.
Takfirisme dan Gerakan Wahabi
Takfirisme yang melatarbelakangi meledaknya banyak bom bunuh diri, tidak muncul secara tiba-tiba. Takfirisme sudah mulai ada di zaman shahabat, yaitu saat perang Shiffin berakhir. Saat itu kedua belah pihak (baca: Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah) sepakat berdamai, yang disebut dengan peristiwa Tahkim. Akan tetapi, keputusan tersebut rupanya melahirkan kelompok sempalan yang disebut sebagai Khawarij. Kelompok ini menuduh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah menggunakan Al-Qur’an sebagai alat politik. Pada akhirnya Ali bin Abi Thalib terbunuh, sedangkan Mu’awiyyah berhasil selamat dari rencana pembunuhan mereka.
Setelah peristiwa tersebut, muncul kembali gerakan pemurnian Islam di Arab Saudi yang dibawa oleh Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Pengikut dari gerakan ini disebut Wahabi. Fokus dari Wahabi adalah melakukan pemurnian pada aqidah, serta memberantas tahayul, khufarat, dan bid’ah. Wahabi sukses menjadi gerakan politik yang melingkupi kerajaan Arab Saudi. Akan tetapi, gerakan Wahabi sering dianggap oleh kebanyakan orang sebagai gerakan yang tidak memahami fiqh waqi’ (adaptasi politik dan ekonomi).
Kemudian di negara Mesir, muncul kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) yang dipelopori oleh Sayyid Qutb. Pandangan yang paling disorot dari kelompok ini adalah anggapan jahiliyyah kepada masyarakat yang tidak menerapkan hukum Islam. Kemudian apabila diperlebar, dapat ditemukan bahwa masyarakat yang dianggap jahiliyyah juga dinyatakan belum beriman. Dalil Al-Qur’an yang dijadikan landasan adalah QS. Al Maidah ayat 44, 45, dan 47 yang dimaknai sebagai tipologi masyarakat, yaitu kafir, fasiq, dan dzalim.
Fokus dari ketiga kelompok di atas adalah melakukan pemurnian pada perpolitikan. Akan tetapi, cara yang ditempuh oleh ketiga kelompok tersebut cenderung menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Cara tersebut oleh masyarakat umum, dianggap telah menggeser wajah keislaman yang penuh kedamaian. Sehingga narasi yang muncul hanyalah narasi jihad yang dalam arti sebenarnya bermakna “perang saudara”.
Menjernihkan Narasi Jihad, Kafir, Thogut
Sebenarnya hukum yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sudah mengikuti hukum Islam. Esensi yang terkandung dalam Pancasila adalah produk dari Islam itu sendiri. Dimana Islam meyakini akan keesaan Allah, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menyukai persatuan, menerapkan diskusi secara aktif, dan menjunjung tinggi kesejahteraan sosial. Semua nilai tersebut adalah nilai-nilai Islam yang secara filosofis ada dalam Pancasila.
Maka produk yang dianggap oleh kelompok radikal sebagai hukum tidak Islami hanyalah bualan belaka. Mereka menginginkan sistem pemerintahan yang selaras dengan kepentingan mereka bukan niat tulus memurnikan ajaran Islam. Tujuan sebenarnya dari gerakan terorisme dan radikalisme adalah menjadikan negara sesuai kepentingan kelompoknya. Tidak heran, jika gerakan-gerakan yang ditampilkan oleh kelompok radikal tidak nampak Islami atau bahkan keluar dari kaidah Islam.
Oleh karena itu, agar tidak lagi terjebak oleh hasutan kelompok radikal, masyarakat perlu memahami tentang apa dan bagaimana politik dijalankan. Apa tujuan sebenarnya dari gerakan dan narasi yang disuarakan oleh satu kelompok. Sehingga masyarakat dapat membedakan apa arti dari narasi jihad, kafir, dan thogut sebenarnya berdasarkan pemahaman pribadi, bukan dikendalikan oleh sekelompok orang.
This post was last modified on 14 Desember 2022 2:10 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…