Narasi

Hoax, Reproduksi Kenyataan dan Konflik

Banyak pihak mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan agama. Namun kenyataannya keberadaan agama di negara ini memberi pengaruh yang kuat. Sehingga sulit untuk mengatakan bahwa agama hanyalah urusan personal individu dengan sang khalik-nya. Hadirnya agama dalam ruang publik membuat semua pihak seolah harus menjadikannya tolok ukur dalam bertindak. Sehingga dalam beberapa keadaan, hal apa pun yang berhubungan dengan agama menjadi sebuah komoditas yang bisa diperdagangkan. Hal tersebut sebenarnya sudah cukup buruk namun ternyata yang lebih buruk lagi dari hal tersebut adalah adanya kemunculan informasi palsu atau biasa disebut dengan Hoax dengan menggunakan agama sebagai alatnya.

Penyebaran informasi palsu hingga konten yang bernada hasutan untuk melakukan kekerasan telah banyak mendistraksi rasionalitas masyarakat. Hal tersebut sebenarnya sudah harus menjadi perhatian yang serius, sebab dalam kenyataannya kejadian demikian masih kerap berlangsung. Dari data yang dikeluarkan oleh kementrian komunikasi dan informasi per Desember 2016 setidaknya ada 800 situs penyebar hoax. Banyaknya situs tersebut semakin membuka peluang untuk terus menarik masyarakat ke arah disintegrasi dan mengesampingkan nilai nilai keberagaman serta sikap toleransi.

Relasi Sikap Sektarian dan Hoax

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin hal tersebut terjadi? Hal tersebut mungkin terjadi bila diawali oleh adanya kecenderungan keberpihakan setiap individu terhadap hal hal yang memiliki kesamaan identitas dengan dirinya atau umumnya disebut sebagai sikap sektarian. Belakangan, agama menjadi salah satu instrumen identitas yang sangat favorit untuk digunakan. Tanpa disadari hal semacam ini berpotensi untuk mengikis keberagaman yang ada. Sebab, lambat laun sikap sektarian tersebut telah mengubah ritme atau gaya hidup masyarakat. Nilai keberagaman pun sebenarnya telah mulai tersandera oleh keadaan ini.

Bibit sektarian itu semakin bersemi tatkala mendapat asupan informasi yang tidak jelas sumbernya. Disinilah proses reproduksi kenyataan dalam bingkai intoleransi terjadi. Proses wujud nyata-nya umumnya menggunakan sejumlah situs media penyebar hoax di internet. Media media tersebut sering menempatkan sejumlah berita yang bombastis namun tak jelas sumbernya sebagai tajuk utamanya. Dengan menggunakan kalimat tertentu, berita yang ada seolah beralih posisi dari semata hanya informasi menjadi sebuah kebenaran tunggal yang tidak akan bisa dibantah lagi. Tidak cukup sampai di situ, proses men-sarikan narasi tentang dosa dan risiko akan kehancuran dari kitab suci pun digunakan sebagai alat untuk mengukuhkan ke-absahannya.

Akibatnya, terciptalah pola fikir yang jauh dari kenyataan atau sesuatu yang hyper (berlebihan). Pola fikir tersebut menjadi sebuah koridor pemikiran di masyarakat kita. Keresahan, ketakutan, aksi kekerasan dan lain sebagainya menjadi kenyataan baru yang dirasakan masyarakat karena semua proses yang dipengaruhi oleh Hoax tadi. Ini terjadi karena sekat antara kenyataan dan media sebagai representasi kenyataan tersebut telah hilang. Bahkan dengan cepat media yang menyebarkan kebohongan dan fitnah tersebut beralih posisi menjadi kenyataan itu sendiri. Ini terjadi dalam benak pengguna situs situs tersebut. Bagi seorang Jean Baudrilard, Filsuf berkebangsaan Perancis, hal semacam ini sangat memungkinkan untuk memberikan pengaruh kepada individu dan massa untuk bergerak berdasarkan informasi yang telah dikonsumsinya. Jadi melalui proses yang ada, bukan sebuah kemustahilan untuk bisa menimbulkan aksi massa dengan mengatasnamakan agama.

Pada akhirnya, kekacauan dan benturan keras seperti yang pernah terjadi di Poso dan Ambon akan kembali terulang. Kita tentu tidak menginginkan hal yang demikian terjadi lagi. Apalagi setelah kita mengetahui betapa tragisnya kehidupan di wilayah wilayah konflik seperti di Suriah atau pun apa yang telah terjadi di beberapa wilayah di Myanmar. Rentetan persoalan ini harus segera disudahi. Para pemuka agama bersama media dan aparatus harus mulai bekerjasama dengan mengedepankan semangat kemanusiaan ketimbang berfikir sektarian dan memanaskan konstelasi yang ada. Sebab, hanya rasa sakit yang kita temukan bila semuanya harus berujung pada konflik.

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 menit ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

3 menit ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

4 menit ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

7 menit ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

18 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

18 jam ago