Hoax diprediksi semakin merajalela di tahun 2018 ini. Semua pihak berpotensi memproduksi, menyebarkan, serta disasar serangan hoax, baik sengaja atau tidak sengaja. Fenomena ini merupakan implikasi hadirnya tahun politik.
Tahun 2018 merupakan tahun politik. Paling tidak terkait dua kontestasi politik elektoral, yaitu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Pemilukada serentak akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018 di 171 daerah, terdiri dari 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Sedangkan Pemilu 2019 juga menjadi pemilu perdana yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Puncaknya akan diselenggarakan pada 17 April 2019.
Kedua kontestasi di atas diprediksi akan penuh kompleksitas, baik sisi teknis maupun dinamika pelakunya. Apapun itu prinsip kontestasi demokrasi mesti ditambah, tidak cukup LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia). Namun, harus ditambah dengan bersih dan damai. Iklim sosial politik yang bersih dari hoax menjadi salah satu kunci terciptanya dinamika kehidupan yang damai.
Konsekuensi Politik
Pilkada sifatnya lokal, namun terbuka potensi turut menyeret lingkup nasional akibat pelaksanaan serantak dan berkaitan dengan kepentingan Pemilu 2019. Salah satu konsekuensi yang mesti disadari sejak dini oleh semua pihak adalah potensi gesekan horizontal yang dapat menganggu iklim damai.
Singgungan dan gesekan merupakan keniscayaan dalam kontestasi demokrasi. Hal penting diantisipasi adalah jangan sampai gesekan tersebut membesar dan melebar hingga berbuah konflik.
Galtung (2003) menguraikan bahwa perdamaian terwujud dengan diagnosis, prognosis, dan terapi yang tepat. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam melakukan prognosis termasuk terapi yang akan dilakukan.
Konflik horisontal yang melanda Indonesia, terindikasi lebih dipengaruhi oleh politik penguasa ketimbang ketidakcocokan etnis atau SARA (Andreas, 2017). Selanjutnya dipaparkan ada 4 (empat) penyebab sumber konflik. Pertama, perbedaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yaitu pengaturan lahan, hutan, mineral, pasar dan distribusi, bank, kesempatan berkuasa, pengangguran, kemiskinan dan perlindungan politik.
Kedua, pengaturan perluasan batas-batas budaya seperti bahasa, pemukiman, simbol publik, upacara publik, pakaian, kesenian, etika dan kebiasaan-kebiasaan daerah. Politisasi etnis selalu akan mendapat tempat karena bisa mendatangkan uang sekaligus meraih dukungan publik.
Ketiga, pertentangan ideologi, politik dan agama dimana agama muncul dalam bentuk ideologi atau politik, budaya atau kelompok etnis, atau akses untuk memonopoli ekonomi. Sementara pertentangan politik dimunculkan untuk memperkuat segregasi atau kelanggengan kepentingan ekonomi.
Keempat, ketidakberesan penyelenggaraan negara seperti anti demokrasi, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), ketidakadilan, penguasaan alat produksi oleh elit, pelanggaran HAM, tindakan ekstra judicial, privilege (keistimewaan, perlakuan spesial) bagi kaum elit, dan impunitas.
Terkait potensi konflik politik pada pilkada 2018, KPU memprediksi akan meningkat dibanding Pilkada 2017. Polri juga telah telah memetakan 171 titik rawan konflik terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Daerah yang dinilai paling rawan konflik pada Pilkada 2018 antara lain Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Barat.
Bingkai Damai
Setiap kontestan pasti akan mengerahkan energi total guna memenangkan elektoral. Namun demikian laku ksatria mesti ditunjukkan baik siap menang maupun kalah. Proses kemenangan tentunya mesti dengan strategi yang taat regulasi. Hal lain yang mesti dilakukan adalah proses dinamisasi politik yang memprioritaskan penciptaan iklin kehidupan yang damai.
Politik berbasis massa rentan terkena adu domba. Isu-isu politik berbungkus SARA dan identitas politik diprediksikan menjadi paling mudah menyulut emosi massa. Untuk itu semua pihak mesti waspada terhadap provokasi. Kontestan wajib dan siap berada di garda terdepan mengendalikan massa pendukungnya agar mewujudkan iklim kompetisi yang berkedamaian.
Mengawali tahapan pesta demokrasi biasanya dilakukan penandatanganan pakta integritas seluruh kontestan dalam mewujudkan proses yang damai. Harapannya hal tersebut tidak seremonial dan formalitas belaka. Patut diperhatikan bahwa pemilih sudah mulai melek untuk menghindari pilihan peserta yang senang membuat kegaduhan. Artinya, pembiaran bahkan kesengajaan menciptakan ketidakdamaian suasana akan berbuah blunder politik.
Kerawanan politik yang mengganggu kedamaian publik terjadi pra, saat, dan pasca kontestasi demokrasi. Pada tahapan pra antara lain dapat berwujud gesekan saat pengumpulan dukungan, rebutan tim sukses, ketidakpuasan atas putusan pengurus partai, dan lainnya. Saat proses kontestasi merupakan periode paling rawan dan paling panjang. Antara lain dapat berbentuk rebutan calon pemilih, provokasi saat kampanye terbuka, klaim penguasaan basis teritorial, dan lainnya. Sedangkan pascapemungutan rawan terjadi ketidakpuasan atas hasil perhitungan, ketidakpuasan tim atas janji kontestan, dan lainnya.
Semua kondisi di atas penting dipetakan sejak dini dan disadari semua pihak untuk disiapkan antisipasinya. Sinergi dan komunikasi antar pihak menjadi kunci penciptaan suasana damai.
This post was last modified on 9 Januari 2018 9:10 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…