Narasi

Idul Fitri; Tolak Intoleransi di Hari yang Fitri

Hari raya Idul Fitri semakin dekat. Artinya bulan Ramadan akan usai. Idul Fitri merupakan hari penyucian diri, baik jiwa maupun raga dari perbuatan yang munkar, seperti intoleransi bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia. Penyucian tersebut berguna untuk menjadikan umat muslim menjadi insan yang fitri (suci) di hari yang fitri.

Hari raya Idul Fitri dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah. Penetapan 1 Syawal antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menggunakan metode atau cara yang berbeda. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan metode Rukyatul Hilal. Perbedaan tersebut harus disikapi dengan toleransi (saling menghargai dan menghormati), bukan saling ber-intoleransi bahkan sampai menyalahkan keyakinan orang lain. Sikap toleransi di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah diperlukan demi mewujudkan kehangatan antar sesama muslim di hari yang fitri.

Idul Fitri dimaknai sebagai hari perayaan berakhirnya ibadah puasa bulan Ramadhan. Dengan beridul fitri, harus menyadari bahwa kita semua (manusia) berasal dari tanah dan akan dikembalikan ke dalam tanah. Hal tersebut termaktub dalam surah Thaha ayat 55, “Dari bumi Kami menciptakan kalian (manusia) dan akan mengembalikan kalian setelah kematian kalian, dan dari dalam bumi, Kami akan mengeluarkan kalian hidup-hidup dalam kehidupan yang lain lagi (kehidupan akhirat) untuk menghadapi proses perhitungan amal perbuatan dan pembalasannya”.

Setelah menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadan, kebiasaan umat muslim melantunkan kalimat takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih mulai pada malam hari raya Idul Fitri. Selain di Masjid, ada juga yang merayakan dengan takbir keliling. Takbir keliling diadakan sebagai wujud menyambut hari yang fitri dengan cara mengagungkan atau memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan membaca takbir (Allahu Akbar), dan tahlil (Laa Ilaaha Illallah).

Momen bermaaf-maafan dan berkumpul bersama tidak pernah terlewat dalam menyambut Idul Fitri. Kedatangan Hari Raya Idul fitri selalu memberikan pelajaran yang berharga, diantaranya: Pertama, adanya penguatan pengakuan atas besarnya nikmat iman dan Islam. Kedua, menumbuhkan kesadaran bahwa bekal di akhirat adalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketiga, pentingnya menjaga silaturahim antar sesama manusia.

Menolak intoleransi di hari yang fitri merupakan keputusan yang paling tepat di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam (termasuk keyakinan). Karena penolakan intoleransi selain menghindari larangan ajaran Islam juga berarti sadar akan adanya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta menjaga keharmonisan dan kesejahteraan umat. Sejatinya intoleransi mengkhawatirkan atau mengancam kebhinekaan Indonesia.

Rasa intoleransi adalah rasa di mana seseorang maupun sekelompok orang yang merasa perbedaan itu akar dari munculnya sebuah konflik. Padahal perbedaan bisa menjadi sumber penguat persatuan bangsa Indonesia demi menciptakan kehidupan yang rukun, harmonis, nyaman, damai, dan sejahtera dengan cara menjunjung tinggi toleransi antar sesama manusia di tengah perbedaan yang ada.

Tidak perlu mencela agama maupun keyakinan orang lain dengan dalih membela agama maupun keyakinan sendiri. Hal tersebut justru hanya akan menimbulkan kericuhan dan berakibat pada perpecahan bangsa.

Sebagaimana telah terjadi kasus intoleransi, salah satunya terkait pendirian tempat ibadah: Kasus penolakan pembangunan gereja di Bogor pada tahun 2008, dan penyerangan dan pembakaran masjid di Sampang pada tahun 2012. Dari data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah yang mencakup pembubaran, penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Dari data tersebut terlihat bahwa kasus Intoleransi masih sering terjadi. Untuk meminimalisir Intoleransi, diperlukan sikap yang toleran antar sesama manusia agar rukun dan damai.

Oleh sebab itulah, pada hari raya Idul Fitri harus menunjukkan sikap penolakan terhadap intoleransi dengan cara menumbuhkan sikap toleransi. Diantaranya: memahami perbedaan (menyadari bahwa setiap orang tidak mungkin bisa menjadi apa yang kita inginkan), tidak memaksakan keyakinan maupun agama kita kepada agama lain, dan bergabung dengan komunitas yang mendukung toleransi. Cara-cara tersebut dapat menjadi bekal untuk menyokong aksi penolakan intoleransi di hari yang fitri.

This post was last modified on 21 April 2023 8:05 PM

Dzuriya Dzuriya

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago